14.12.07
ISTRI SIMPANAN
Sudah sekitar 3 bulan, aku kos di jalan Titimplik, Bandung. Rumah berlantai dua, dengan teras depan yang cukup nyaman, kutinggali bersama tiga orang temanku. Jalan depan rumah hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Teras rumah dipisahkan dari jalan oleh pagar setinggi dada orang dewasa. Teras tersebut lebih tinggi dari jalan, sehingga kami bisa mengamati dengan leluasa kegiatan orang-orang di gang.
Rumah kos mempunyai 4 kamar, 3 di bawah dan sebuah di atas. Kami berempat sama-sama tertarik pada pandangan pertama. Ketertarikan dari aspek yang berbeda. Tetapi ada satu aspek yang menyatukan selera yaitu harganya yang miring. Pemilik rumah memang menyewakan rumah dengan tujuan mencari perawat rumah, selama mereka tinggal di Belanda.
Walaupun terletak di daerah padat, karena rumah cukup besar, begitu masuk ke dalam, seperti terpisah dari lingkungan sekelilingnya. Rumah kosku memang kelihatan paling bagus dibandingkan rumah-rumah di sekelilingnya. Kami segera menghubungi saudara pemilik rumah untuk memberikan tanda jadi, setelah ada kesepakatan diantara kami, siapa menempati kamar yang mana.
Kori menempati paviliun dengan akses keluar masuk pribadi. Diantara kami, Kori memang yang paling banyak mempunyai acara. Dia aktivis kampus. Fira menempati kamar paling besar. Keluarganya di Jogja sering datang menengoknya, sehingga dengan kamar 3x5, keluarganya akan nyaman. Wida memilih kamar yang paling kecil 3x3, tetapi memiliki rak tempel yang tingginya sampai ke langit-langit. Wida tidak sulit lagi menyimpan perabotan masak memasaknya yang banyak.
Aku menempati kamar di lantai atas. Kamar dengan ukuran 3x4 itu memiliki jendela kaca besar yang menghadap utara, ke arah gunung Tangkuban Perahu. Jika siang hari, kamarku lebih panas dibandingkan kamar di lantai bawah, sedangkan malam hari lebih dingin. Untuk ke kamar mandi aku harus turun ke bawah. Tidak seorang pun yang bersedia menempati kamar di atas. Tetapi aku sangat cocok dengan kamar tersebut. Aku seperti bersembunyi di kamar ini.
Suara dari bawah tidak begitu terdengar, sehingga jika malam minggu, tidak terusik obrolan Wida dengan pacarnya yang biasanya sampai jauh malam. Atau Kori dan teman-temannya yang sering menjadikan teras rumah sebagai titik pertemuan. Paling tidak aku diuntungkan dengan tidak sering membukakan pintu untuk tamu-tamu. Selain itu, aku membayar lebih murah dari seharusnya, menurut mereka karena ketidaknyamanan kamar. Tapi menurutku ini harga spesial untuk kamar yang spesial.
Tetangga kanan, kiri dan depan rumah kos adalah rumah tangga. Sebelah kanan tinggal sepasang suami istri tanpa anak. Kepala keluarga seorang salesman, sering bepergian keluar kota. Istrinya, mbak Isti, setiap pagi tidak pernah absen merubung gerobak bang Modo, tukang sayur langganan ibu-ibu di gang. Sebelah kiri, keluarga dengan 5 orang anak perempuan yang umurnya hanya beda 1-2 tahun. Si ibu, kami panggil bu Aas, sering kali berteriak untuk memisahkan anak-anak yang berkelahi karena rebutan makanan. Terkadang terdengar bu Aas ribut mulut dengan suaminya. Suami bu Aas bekerja sebagai satpam di mall. Sedangkan tetangga depan, seorang wanita berusia sekitar tigapuluhan yang disapa Lilis oleh para ibu, sedangkan aku dan teman-teman memanggilnya ceceu. Ceceu hidup sendiri, hampir tidak pernah keluar rumah, kadang-kadang saja dia membeli sayur di bang Modo.
Wida sering membawa celoteh para ibu kepada kami berempat. Wida memang yang paling banyak berinteraksi dengan mereka. Bila hari libur Wida senang mencoba-coba resep masakan bersama mereka. Sambil memasak, apalagi yang enak untuk dibicarakan, kalau bukan ceceu. Kori tidak peduli dengan lingkungan rumah kos, dia lebih suka berkumpul dengan teman-temannya di himpuna mahasiswa fakultasnya. Fira hanya menjadikan cerita Wida sebagai guyonan saja. Sedangkan aku tidak banyak komentar, hanya sebagai pendengar yang baik.
Pagi-pagi para ibu senang sekali membincangkan ceceu, seraya memilih sayuran di bang Modo, terutama jika ada sepeda motor parkir di depan rumahnya. Jika ceceu datang untuk membeli sayur, mereka segera mengganti topik pembicaraan. Padahal di gang yang lebarnya tidak lebih dari satu meter itu, celoteh mereka terdengar jelas dari dalam rumah. Bisa jadi ibu-ibu itu sengaja supaya suaranya terdengar.
Setiap berpapasan, saat aku berangkat atau pulang kuliah, ceceu selalu menyapa. Rambutnya berombak lewat bahu. Kulitnya putih bersih dan tingginya sedang. Tipikal sosok perempuan sunda. Suatu sore ketika aku duduk sendiri di teras, ceceu keluar dan berkenan menemaniku sebentar.
“Kumaha kuliahnya neng Tari?”
“Biasa aja, mbak”, kupandang ceceu yang sore itu mengenakan celana pendek selutut warna putih dan kaos warna merah anggur. Nampak segar.
“Neng asalna timana?”
“Jakarta, ceu”
Setelah berbasa basi sebentar, ceceu masuk kembali ke rumahnya.
Sebelumnya aku tidak peduli. Namun karena seringnya mendengar para ibu membicarakan, aku jadi suka melirik rumah ceceu setiap keluar masuk rumah kos. Terkadang aku melihat sepeda motor parkir di depan rumah ceceu. Siapa dan seperti apa pemilik sepeda motor, aku tidak pernah tahu. Selama tinggal di rumah ceceu pun pemilik sepeda motor tidak pernah keluar. Motor yang parkir selalu motor yang sama, menunjukan orang yang datang adalah orang yang sama. Pemilik sepeda motor rutin datang jumat malam dan pergi senin dini hari.
Kabarnya ceceu istri simpanan atau bisa jadi hanya kekasih gelap. Kata-kata sinis ibu-ibu di gang hanya ditujukan kepada ceceu. Mereka tidak pernah membicarakan pacarnya atau suaminya itu. Tetapi nampaknya ceceu tidak peduli.
Dalam keseharian pun aku tidak tahu apa yang dikerjakan ceceu. Darimana dia memperoleh uang untuk makan dan membiayai hidupnya. Setahuku ceceu jarang sekali keluar rumah. Aku pulang kuliah siang, ceceu ada di rumah. Kutahu dari suara radio atau tv lamat-lamat dari rumahnya. Aku pulang sore pun dia ada di rumah. Seperti halnya aku, ceceu hanya pendatang di gang itu.
Walaupun ibu-ibu sekitar sering membicarakan, tak pernah aku melihat ceceu berubah sikap, tetap tersenyum dan menyapa setiap bertemu orang yang dikenalnya di gang ini. Sepertinya ceceu tidak mau berinteraksi terlalu dekat dengan tetangga. Meski hidup sendiri, belum pernah ceceu mengetuk pintu tetangga untuk minta tolong. Berbeda dengan mbak Isti dan bu Aas. Mbak Isti sering minta garam atau kekurangan bumbu lainnya ke Wida. Mbak Isti juga sering titip Wida minta dibelikan sesuatu di supermarket.
Sedangkan bu Aas sering minta tolong aku menjaga anak-anaknya jika ada keperluan untuk keluar rumah pada sore hari. Anak tertuanya berusia 8 tahun lebih, kemudian masing-masing 7, 5 , 3 dan 1 tahun. Terkadang bu Aas sengaja menungguku pulang kuliah, dan segera memberitahu kalau dia akan keluar rumah sebentar. Setelah berganti baju, aku segera ke rumah bu Aas. Anak-anak itu senang kalau aku datang. Jika melihat aku, anak yang terkecil akan mengangkat kedua tangannya minta digendong.
Rasanya memang menyenangkan diantara mereka. Mata-mata yang bulat dan bening akan memandang takjub saat aku bercerita. Mereka tidak bisa duduk dengan tegak, selalu menggelendot ke tubuhku. Sehingga aku harus selonjorkan kaki, supaya setiap anak dapat tempat untuk menyandarkan tubuhnya. Anak yang terkecil menjadi tumpahan kekesalan kakak-kakaknya karena mendapat tempat yang paling enak, di pangkuanku. Sedangkan yang lain hanya dapat kaki kiri, kaki kanan, bahu kiri dan bahu kanan. Jika ibu mereka pulang, anak-anak itu akan merengek, namun aku tidak pernah mengijinkan mereka main ke kamarku. Aku tidak mau mahluk-mahluk lucu itu mengobrak-abrik kamarku yang nyaman.
Suatu malam aku terbangun, lamat-lamat kudengar suara orang mengetuk pintu dan memanggil-manggil namaku. Seperti suara ibu Aas, ada nada panik dalam suaranya. Aku segera turun menemuinya. Wida sudah membukakan pintu dan sedang bicara dengannya. Begitu melihatku, segera digenggamnya tanganku.
“Neng Tari, Euis panas sekali, bapaknya sedang tugas malam”, wajah bu Aas cemas. Anaknya yang nomor empat sakit. Aku dan bu Aas segera menuju rumah bu Aas. Wida kembali ke kamarnya.
Kulihat Euis tidur dengan gelisah. Empat anak yang lain tidur berjejer di kanan kiri Euis, seperti pindang. Kupegang dahinya. Panas sekali. Segera kusingkirkan selimut dan melepas baju hangat yang dikenakannya. Aku minta bu Aas menyiapkan air dingin di baskom dan handuk kecil untuk kompres. Bu Aas tidak sedia alkohol atau obat penurun panas di rumahnya, juga tidak punya termometer.
Jantungku serasa mau copot ketika sepintas aku melihat Euis seperti terkejut dalam tidurnya. Aku minta bu Aas menyiapkan juga sendok yang dibungkus dengan saputangan. Aku khawatir Euis kejang karena panas yang tinggi. Sendok akan mencegah tergigitnya lidah andai tiba-tiba Euis kejang.
“Euis bawa ke klinik 24 jam saja, saya takut tiba-tiba dia kejang, panasnya tinggi sekali”, saranku pada bu Aas.
Bu Aas hanya memandangku. Nampaknya dia bingung. Aku juga tidak mengerti, apa yang dibingungkan bu Aas.
“Ibu tidak punya uang, neng”
Aku tertegun. Tadi siang aku terpaksa pinjam uang Fira untuk makan. Itu biasa aku lakukan di saat kirimanku belum datang. Setelah mengajarkan cara mengompres, kuminta bu Aas untuk segera mengompres. Aku kembali ke rumah kos. Aku tahu Wida atau Fira masih punya cukup uang untuk dipinjam. Kulihat motor parkir di depan rumah ceceu. Entah kenapa aku memutuskan untuk mengetuk rumah ceceu. Selain bisa pinjam uang, mudah2an suaminya mau mengantarkan ke klinik 24 jam.
“Punten....Ceceu....Ceceu.....”, kupanggil ceceu sambil mengetuk pintu.
Tidak lama pintu dibuka. Kepala ceceu menyembul dari balik pintu, rambutnya acak-acakan, tangannya menggenggam erat daster pada bagian dada.
“Punten, ceu. Euis panas sekali, saya takut dia kejang. Mau minta tolong antar ke klinik 24 jam, juga mau pinjam uang. Bu Aas sedang tidak punya uang”, ada rasa khawatir ceceu menolak. Tapi ceceu menyuruhku untuk menunggu. Aku mendengar dia berbicara dengan suaminya. Tidak lama kemudian ceceu dan suaminya keluar. Aku, ceceu dan suaminya segera ke rumah bu Aas. Inilah pertama kali aku melihat suami ceceu.
Bu Aas terkejut melihat kedatanganku diiringi ceceu dan suaminya. Aku jelaskan pada bu Aas, bahwa aku yang akan membawa Euis ke klinik diantar suami ceceu. Aku tidak menunggu kata setuju dari bu Aas. Segere kubungkus Euis dengan selimut dan menggendongnya. Badan Euis terasa panas di lenganku. Bibir dan pipi anak itu merah sekali. Euis membuka matanya sebentar, kemudian terpejam lagi setelah kuhibur dan kucium dahinya. Suami ceceu memboncengkan aku dengan motornya ke klinik di jalan Titiran.
Sepulang dari klinik, ceceu masih menunggu di rumah bu Aas. Kuletakan dengan hati-hati Euis di tempat tidurnya. Perempuan kecil itu pintar sekali. Sama sekali tidak menangis selama diperiksa dokter di klinik. Pun ketika dokter memasukan obat dari duburnya. Setelah itu tidurnya lelap sekali. Semua biaya klinik dan obat dibayar oleh suami ceceu. Selama di klinik dia sempat menanyakan namaku dan keheranannya karena aku terlihat terampil mengurus Euis.
“Saya Tari, mas. Saya mahasiswa di jurusan farmasi. Saya dekat dengan semua anak-anak bu Aas, karena sering menunggui mereka kalau bu Aas ada keperluan keluar”.
Setelah kejadian malam itu, situasi di gang titimplik berjalan sebagaimana biasa. Suami ceceu tetap rutin datang dan bermalam. Dan tetap tidak pernah keluar rumah selama tinggal di rumah ceceu. Ceceu juga jarang keluar rumah kecuali sekali-sekali untuk membeli sayur. Para ibu masih tetap membicarakan ceceu, tetapi bu Aas nampaknya mulai menarik diri, tidak lagi berceloteh tentang ceceu.
Suatu hari, pompa di rumah kos rusak sehingga tidak punya air untuk mandi dan mencuci. Sore hari aku dan Fira mengetuk rumah ceceu untuk numpang mandi dan cuci. Ceceu dengan ramah mempersilahkan aku dan Fira. Saat itu suaminya sedang ada di rumah. Aku mengangguk padanya dan permisi untuk menumpang mandi dan cuci.
“Mbak, itu siapanya ceceu?”, tanya Fira berbisik. Itu pertama kali Fira bertemu pemilik sepeda motor. Aku menjawabnya dengan sikutan supaya diam. Selesai mandi dan cuci, aku dan Fira kembali ke rumah kos.
“Itu pacarnya ceceu ya?”, Fira masih penasaran rupanya.
“Aku tidak tahu, yang kutahu ceceu orang baik. Kenapa ibu-ibu tetangga tidak bisa menilai generiknya ceceu. Ceceu tentu punya alasan kenapa memilih jalan hidupnya”.
Kemudian selama beberapa minggu aku tidak melihat motor parkir di depan rumah ceceu. Bahkan sebulan setelahnya, motor itu tidak datang. Rasanya lama sekali tidak melihat ceceu membeli sayur di bang Modo. Sungguh aku tidak mau mencampuri urusan orang. Tetapi sore ini seperti ada yang menuntunku untuk mengetuk pintu rumah ceceu.
Ceceu membukakan pintu. Aku tertegun memandang ceceu. Ia terlihat kurus dan wajahnya yang biasa segar terlihat layu. Ceceu seperti sedang ditimpa kemalangan yang berat. Aku ditariknya masuk dan segera di tutupnya pintu. Ceceu menangis sejadi-jadinya di pangkuanku. Aku hanya diam, bingung hendak berbuat apa. Setelah puas menangis, ceceu pun mulai bercerita. Ini lah pertama kali aku tahu siapa ceceu, asalnya dan siapa laki-laki yang sering datang ke rumahnya.
Ceceu lahir dan dibesarkan di Ciamis. Kemudian melanjutkan SMU dan bekerja di Bandung. Bertemu dengan Dadang, yang kemudian menjadi suaminya, di Bandung. Orang tua Dadang tidak setuju dengan hubungan mereka karena beberapa alasan. Ceceu dan Dadang kemudian menikah diam-diam di Ciamis dengan hanya disaksikan keluarga ceceu. Selanjutnya mereka menjalankan kehidupan rumah tangga dengan diam-diam di Bandung.
Dadang adalah anak tunggal, ia tidak punya keberanian untuk membuka perkawinannya. Ibunya mengancam akan bunuh diri, ketika Dadang mengutarakan maksud akan menikah dengan ceceu. Laki-laki itu adalah anak yang penurut semenjak kecil. Namun kali ini dilanggarnya kata-kata orang tua. Dadang berharap suatu saat nanti, jika hadir anak-anak dari perkawinan rahasia ini, orang tuanya akan luluh. Dadang minta ceceu tidak bekerja, dengan harapan akan cepat hadir anak-anak.
Selanjutnya Dadang tetap tinggal di rumah orang tuanya. Dengan alasan tugas kantor, dadang tinggal di rumah kontrakan bersama istrinya hari jumat hingga senin. Namun rumah tangga diam-diam itu hanya berlangsung kurang lebih setahun. Sebulan yang lalu Dadang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Ceceu tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk datang melayat suaminya, dia berpikir seribu kali. Kedatangannya akan membuat keluarga Dadang terluka. Bisa jadi dia akan terlalu emosional, sehingga terjadi kehebohan, karena itu ceceu memilih untuk menangis dan menanggung sendiri kesedihannya di rumah kontrakan.
Pada kunjungan yang terakhir, Dadang seperti memberikan pesan terakhirnya. Dadang meminta maaf karena hanya kehidupan seperti itu yang bisa diberikan kepada istrinya. Dadang merasa bersalah karena tidak memiliki keberanian dan kemampuan untuk memperjuangkan rumah tangganya. Saat itu Dadang bersikap tidak seperti biasanya. Dadang tampak sangat menyesal telah membawa ceceu pada kesulitan. Dadang minta supaya ceceu tabah menjalani kehidupan. Setelah itu, Dadang tidak pernah muncul lagi menjenguk istrinya.
Sesaat aku berpikir, jangan-jangan kematian Dadang hanya rekayasa keluarganya, setelah terbongkar rumah tangga rahasianya.
“Tidak, neng. Seorang teman baik yang menjadi saksi ketika kami menikah memberitahu ceceu.
Ceceu tidak tahu harus pergi kemana. Pulang ke Ciamis pun hanya akan membebankan keluarga di sana. Emak dan bapak sudah tidak ada. Sementara tabungan ceceu sudah semakin tipis, untuk makan setiap hari”
Aku termangu. Apa yang bisa kuperbuat untuk ceceu? Terlintas pikiran mengirim ceceu ke rumahku di Jakarta. Ibuku punya warung nasi di sebelah rumah kami tinggal. Warung Ibu lumayan besar dan ramai. Ibu memiliki 2 orang pekerja dan semuanya tinggal di rumah kami. Kucoba menenangkan ceceu dan kukatakan aku punya rencana untuknya. Tetapi belum bisa kukatakan sekarang.
Sepulang dari rumah ceceu, kutelepon ibuku di Jakarta dan membujuknya untuk menerima ceceu bekerja di warung. Tidak kusangka ibuku mau menerimanya. Ketika kusampaikan kabar ini, ceceu menangis sambil tertawa di pelukanku. Aku tahu dia ingin mengucapkan terimakasih dengan caranya. Tanpa berpikir dua kali ceceu menerima tawaranku.
Beberapa hari kemudian, kuantar ceceu ke Jakarta untuk bekerja di warung ibuku.
Bandung, 1992
Langganan:
Komentar (Atom)