14.12.07

BUAH KERJA KERAS

Aku dan adikku sama-sama belajar menari bali di sanggar tari bali dekat rumah. Kami berlatih setiap selasa dan minggu sore. Adik lebih rajin berlatih. Aku terkadang malas. Apalagi kalau ingat pelatih yang sering berteriak-teriak kalau gerakanku salah.
’’Dewi, badanmu tinggi, lebih jongkok lagi!’’, kalau mbak Ayu berteriak seperti itu aku merasa malu karena semua mata akan memandangku.
Sepulang dari latihan biasanya aku menggerutu pada ibu dan minta supaya aku tidak latihan menari lagi. Ibu kemudian mengelus rambutku dan berkata, mbak Ayu galak supaya anak-anak dapat menari dengan bagus.
Sementara adikku tidak pernah mengeluh. Kata adik, ikuti saja perintah mbak Ayu pasti tidak akan dimarah.
’’Kaki jadi pegal kalau jongkok terlalu rendah’’, kataku membela diri.
’’Ditahan aja, daripada diteriaki mbak Ayu’’, jawab adikku.
’’Lagipula kalau tidak jongkok, tariannya tidak bagus. Tidak ada orang menari bali dengan badan tegak’’, tambah ibu.
Walaupun demikian, tetap saja aku merasa berat untuk pergi berlatih. Hari selasa sore aku sering tidak pergi. Ibu masih di kantor pada jam aku latihan, jadi tidak bisa membujukku. Sedangkan adikku tetap pergi berlatih. Setelah ibu pulang biasanya aku dinasihati.
Sedangkan hari minggu sore ibu akan mengantar kami berlatih. Terkadang untuk merayuku, dijanjikan setelah latihan ibu mengajak ke toko buku atau makan di restauran dekat sanggar.
Suatu hari mbak Ayu mengumpulkan murid-muridnya. Kami diberitahu kalau dua minggu lagi akan ada perlombaan tari bali di mall di Jakarta Selatan. Mbak Ayu minta supaya kami lebih rajin berlatih, tidak hanya di sanggar tapi juga di rumah. Pada saat lomba aku akan menari Pendet sedangkan adikku menari Panji semirang.
Sejak pengumuman dari mbak Ayu kulihat adikku sering berlatih gerakan tari panji semirang, tanpa musik. Sedangkan aku, rasanya tidak semangat. Seperti biasa pun aku hanya berlatih seminggu sekali di sanggar.
Ketika hari lomba tiba, sejak pagi kami semua sudah siap dengan kostum masing-masing. Peserta lomba cukup banyak. Peserta kelompok TK didahulukan. Kami harus menari selama 3 menit di depan juri yang berjumlah 4 orang.
Adikku tampil lebih dahulu. Adik menari dengan lancar selama 3 menit. Ketika giliranku menari, aku merasa gemetar. Aku sering ragu melakukan suatu gerakan, karena aku kurang yakin apakah urutan gerakannya benar.
Ketika juri mengumumkan pemenangnya, adikku memperoleh juara II untuk kelompok TK. Sedangkan aku tidak mendapat juara. Adik mendapat banyak hadiah. Ada piala, uang, kue-kue dan permen dari sponsor dan voucher makan. Adik kelihatan bangga sekali. Banyak sekali orang mengambil foto para juara di panggung.
Tanpa kusadari aku menitikan air mata. Aku juga ingin mendapat piala seperti adik. Aku ingin difoto sambil memegang piala di panggung. Sampai di rumah kutumpahkan kesedihanku pada ibu. Ibu mengelus rambutku sambil berkata supaya aku lebih rajin berlatih jika ingin piala seperti adik.
Sejak itu aku berusaha mengalahkan perasaan malasku. Saat latihan pun kutahan rasa pegal di kaki. Aku berusaha jongkok seperti yang mbak Ayu ajarkan. Setiap mbak Ayu teriak, aku segera mengubah gerakan, menirukan gerakan yang diperagakan mbak Ayu.
Beberapa bulan kemudian, mbak Ayu kembali mengumumkan kalau ada lomba tari bali di mall di Tangerang. Ibu memberiku semangat, katanya itulah saatnya aku dapat piala.
Untuk menghadapi lomba aku rajin berlatih seminggu dua kali. Aku juga minta ibu membelikan CD tari bali, sehingga aku dapat latihan sendiri di rumah. Setiap ada kesempatan aku melakukan gerakan tari supaya tidak lupa urutan gerakannya. Rencananya aku akan tampil dengan tari Manukrawa, sedangkan adik dengan tari Panji semirang.
Kata mbak Ayu badanku yang tinggi langsing, cocok untuk menari tari Manukrawa. Tarian itu lincah karena menggambarkan burung-burung rawa yang sedang mencari makan dan bermain. Mbak Ayu juga menceritakan makna setiap gerakan, agar aku bisa menghayati saat menari.
’’Dewi bayangkan diri kamu seekor burung yang sedang bermain dan mencari makan bersama teman-teman’’, kata mbak Ayu pada latihan terakhir.
Aku berlatih sungguh-sungguh, melakukan gerakan yang diajarkan mbak Ayu. Aku tidak lagi merasakan pegal di kaki selama menari. Rupanya latihan teratur membuat kakiku kuat dan terbiasa melakukan gerakan yang benar.
’’Pada saat mengibas-ngibaskan sayap, jangan lupa tersenyum’’, kata mbak Ayu. ”Karena gerakan itu menggambarkan burung rawa yang sedang bermain riang”.
Pada hari perlombaan, aku menari dengan ringan. Sesekali aku tersenyum ketika melakukan gerakan burung yang sedang bermain gembira. Aku membayangkan diriku seekor burung kecil yang sedang bermain dengan riang dan mencari makan setelah lelah bermain. Aku sama sekali tidak ragu dengan gerakanku. Aku menari mengikuti gamelan bali yang mengiringiku. Tanpa terasa aku telah menyelesaikan tarian. Kudengar gemuruh tepuk tangan para penonton.
Saat pengumuman juara, akupun tertawa senang ketika juri mengumumkan kalau aku juara I dikelompokku. Sedangkan adikku mendapat juara harapan II untuk kelompoknya. Dengan bangga aku menerima piala dan hadiah-hadiah, sementara banyak lampu blitz ke arahku. Sejak itu aku rajin berlatih tari Bali. Usaha kerasku melawan rasa malas telah membuahkan hasil.

Tidak ada komentar: