14.12.07

RARAS

Pagi ini, Raras membangunkan tidurku yang lelap dan menyerahkan selembar kertas terlipat yang bertuliskan, untuk ibu di depannya. Perlahan kubuka kertas pemberian Raras.

12 September 2007

Ibu...
Datang ya ke pesta ultah Raras
Hari ini di kamar Raras, jam 8 malam

Cium Sayang,
Raras

Aku tersenyum membaca undangan dari Raras, anakku yang kedua. Hari ini dia menyebarkan undangan untuk semua penghuni rumah untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 10. Rupanya ia ingin mengulang lagi kesuksesan pesta ulang tahunnya tahun lalu. Saat itu pun ia mengundang seluruh penghuni rumah ke kamarnya.
Waktu begitu cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin aku merayakan ulang tahun Raras yang ke 9 dikamarnya.

******
Pulang kantor, kurang lebih jam 5 sore, aku segera mandi dan berdandan. Aku tidak sabar ingin segera tahu, apa yang sudah dirancang Raras untuk pesta ulang tahunnya. Tetapi ketika kucoba membuka kamarnya, terkunci. Dan Raras berteriak dari dalam kamar, “Undangannya jam 7 malam, Raras sedang rapih-rapih dulu!”.
Aku dan kedua anakku yang lain dan juga Yanti, yang bekerja membantuku mengurus anak-anak, menunggu sambil menonton TV. Ninis, anakku yang pertama pun tampak sudah tidak sabar. Dia pun ingin tahu, apa yang direncanakan Raras untuk pesta ulang tahunnya. Dicobanya mengintip dari lubang kunci, tetapi rupanya Raras menaruh sesuatu di pegangan pintu sehingga pandangan dari lubang kunci terhalang.


“Ade ada-ada aja. Pesta ulang tahun kok di kamar dan cuma ngundang orang serumah”, kata Ninis geli.

Dirumah Raras biasa dipanggil Ade. Mungkin dia satu-satunya anak yang punya banyak nama panggilan. Nama lengkapnya, Luh Saraswati Pandyaningrum. Di sekolah sebagian temannya memangil Raras. Guru-guru dan beberapa orang temannya memanggil Luh. Teman-temannya di sanggar tari memanggil Saras. Beberapa orang tua dari teman-temannya di sanggar tari memanggilnya Laras. Kata Raras, walaupun sudah dikoreksi beberapa kali bahwa namanya Raras, tetap mereka memanggilnya Laras. Adik laki-lakinya, Angga, memanggilnya mbak Lalas. Sampai sekarang walaupun sudah bisa menyebut huruf R, karena kebiasaan sejak kecil tetap menyebutnya mbak Lalas. Aku sendiri juga suka ikut-ikutan memanggil Lalas, sehingga nama itu tidak hilang sampai sekarang.

Diantara ketiga anakku, bayi Raras lah yang paling tidak merepotkan, sehingga hanya sedikit yang bisa di kenang saat Raras kecil. Yang bisa kuceritakan ke Raras hanyalah saat-saat kelahirannya saja. Bayi Raras harus sesegera mungkin dilahirkan karena kondisi gawat janin. Saat masuk ke ruang operasi, kondisi mentalku sangat tertekan, karena khawatir ada apa-apa dengan bayiku. Setelah bayi dikeluarkan, kondisiku agak gawat. Malam itu di ruang pemulihan, yang aku ingat, aku seperti berjalan di lorong yang panjang dan tak berujung dan menggigil kedinginan. Ketika terbangun keesokan harinya, pasien di sebelah tempat tidurku cerita, sepanjang malam itu aku terus mengigau, sehingga dua orang suster berjaga di samping tempat tidurku. Katanya, para suster sempet panik ketika tekanan darahku tiba-tiba anjlok.

Selebihnya Raras adalah bayi yang menyenangkan. Bayi Raras hampir tidak pernah rewel dan minumnya banyak sehingga tubuhnya gemuk dan menggemaskan. Kulitnya putih bersih dan pipinya gembil, membuat gemas orang-orang yang melihatnya.

Nama Raras berasal dari bahasa jawa kuno yang artinya cantik. Rasanya pas sekali memanggilnya Raras. Selain cantik, Raras tumbuh menjadi pribadi yang sederhana. Jika aku punya uang lebih, terkadang ingin menyenangkan hatinya dengan membelikan sesuatu yang Raras inginkan. Namun Raras selalu bingung, dia pernah katakan bahwa segala keperluannya sudah terpenuhi sehingga dia tidak menginginkan apa-apa lagi. Ah, Raras...

Ketika usia 4 tahun aku memasukan Raras ke sanggar tari bali dekat rumah. Hingga kini, buat Raras, menari bukan sekedar hobby tetapi juga kebutuhan. Katanya kepala pusing kalau lama tidak menari. Karena keseriusannya menekuni tari Bali, Raras menjadi anggota di 2 sanggar tari bali. Raras tidak mau meninggalkan sanggarnya yang lama karena dia tidak mau berpisah dengan teman-temannya yang dikenalnya sejak usia 4 tahun.

Beberapa predikat juara tari pun telah berhasil di raihnya. Raras bertubuh mungil dan langsing. Tubuhnya luwes bila sedang menari. Raras memang berbakat menari. Akupun membelikannya beberapa pakaian tari bali, sehingga jika Raras akan tampil tidak repot-repot lagi menyewa pakaian tari.

Untuk menjaga staminanya, seminggu 2-3 kali Raras berlatih renang. Raras menyadari, sebagai penari dia harus memiliki fisik yang prima. Untuk tampil menari yang hanya 5-10 menit saja, Raras harus mempersiapkan diri 3-4 jam sebelumnya, untuk berdandan dan mengenakan pakaian tari.

Ketika Raras mulai bersekolah, aku tidak perlu repot-repot mengajarkannya membaca dan menulis. Saat aku mengajari kakaknya membaca, menulis atau berhitung, diam-diam Raras ikut mendengarkan, sehingga tiba-tiba saja dia sudah bisa membaca majalah.

Tiba-tiba saja pintu kamar Raras terbuka. Dengan riang Raras memanggil kami masuk karena pesta akan segera di mulai. Berebutan kami masuk ke kamar Raras, ingin melihat apa yang dia persiapkan untuk pesta ulang tahunnya.

Raras menyiapkan makanan kecil di piring-piring yang ditaruh di meja belajarnya. Makanannya hanya 2 macam, keripik kentang dan permen. Minumannya air putih yang sudah di tuang di beberapa gelas. Raras mempersilahkan kami semua duduk di atas tempat tidur, sedangkan dia berdiri di depan kami. Kemudian Raras mengeluarkan selembar kertas yang ternyata daftar acara.

“Terima kasih ya buat ibu, mbak ninis, adik Angga dan mbak Yanti yang sudah hadir di pesta Raras”, kata Raras sambil tersenyum manis. “Raras ingin semua mendoakan Raras, supaya Raras sehat dan pintar”, kami semua menundukan kepala dan berdoa untuk Raras.

“Acara selanjutnya, Raras minta semua nyanyi selamat ulang tahun untuk Raras”, maka menyanyilah kami dengan riang dan Raras tampak senang mendengarkan kami menyanyi.

Demikian acara demi acara mengalir. Aku mengambil beberapa foto saat acara berlangsung. Kemudian Ninis memberikan bantal cantik untuk Raras sebagai hadiah ulang tahun. Angga memberi pesawat dari kertas yang katanya buatannya sendiri. Ninis meledek tidak percaya, pesawat itu pasti buatannya mbak Yanti. Ketika Raras ingin mencium pipinya tanda terima kasih, Angga menolak dan lari keluar kamar sambil teriak-teriak. Kami semua tertawa melihat tingkahnya yang lucu.

Acara terakhir adalah menikmati kentang goreng, permen dan air putih. Sambil menikmati hidangan kami ngobrol.

"Ade dapet ide dari mana merayakan ulang tahun seperti ini?”, tanyaku ingin tahu.

“Pengennya di restaurant, tapi kan Raras cuma punya 3000 perak jadi ya bisanya seperti ini”, jawabnya polos.

“Pesta paling murah dan paling berkesan”, jawabku geli sambil memeluknya. Dalam hati aku begitu terkesan dengan kesederhanaan Raras. Padahal teman-temannya banyak yang merayakan ulang tahun dengan pizza atau kue ulang tahun yang dimakan rame-rame di sekolah.

“Padahal kalau Ade mau, ibu bisa belikan kue ulang tahun”, aku menawarkan.

“Tidak usah, bu. Terima kasih”, jawabnya. Raras, anakku yang satu ini memang berbeda. Dia begitu lembut, tenang, dan sederhana.

Ketika Raras naik ke kelas lima. Ia masuk ke kelas V B. Di sekolahnya anak-anak yang nilai rapornya bagus masuk ke kelas V A.

“Ibu tidak kecewa Raras masuk kelas V B?”, tanya Raras hati-hati.

“Tidak, kenapa de?”, kataku sambil membelai kepalanya.

“Ibu sering bilang Raras pintar, tapi nyatanya Raras nggak bisa masuk kelas V A”, katanya sedih.

“Memang anak ibu pintar, pintar menari, tuh pialanya banyak”, kataku seraya menunjuk ke kumpulan piala2nya. “Adakah temanmu di kelas V A yang pintar menari juga?”

“Setahu Raras tidak ada”, jawabnya.

“Setiap anak punya kepintaran masing-masing. Untuk Ade pintar menari”, kataku seraya memeluknya.

******
“Ibu, bisa datang tidak nanti malam?”, tanya Raras tiba-tiba memutus lamunanku.

“Bisa”, jawabku sambil membelai rambutnya yang panjang.
“Paginya Raras ingin merayakan bersama teman-teman, besok sekolah libur”, pamitnya.
“Acaranya apa dengan teman-teman?”
“Kami mau naik sepeda keliling-keliling kemudian beli es krim”, jawab Raras.
“Berapa uang yang ade perlukan?”, tanyaku.
“Raras punya uang kok bu. 5000”, jawabnya polos.
“Ah, mana cukup 5000, memangnya berapa harga es krim”, kataku geli.
“Es krimnya enak, satu eskrim harganya 1000. Kemarin Raras sudah bilang, kalau Raras cuma punya 5000, jadi tidak bisa ikut banyak-banyak. Tapi setelah dihitung ternyata ada 11 anak yang ingin ikut. Jalan keluarnya, beberapa teman menyumbang uang. Ada yang menyumbang 2000, ada yang 1000, setelah dikumpulkan jumlahnya 11.000. pas buat beli 11 es krim”

“Masak Ade yang ulang tahun, temen2 yang keluar uang?”

“Itu ide temen2 sendiri, bukan Raras yang minta”

“Bagaimana kalau ibu kasih uang untuk mentraktir teman-teman? Selain es krim Ade mau traktir apa?”

“Ibu kasih aja 6000, jadi jumlahnya pas 11. 000”, jawab Raras polos.

“Ibu bisa kasih uang lebih banyak, kalau Ade mau beli pizza atau bakso dengan es campur”.
“Tidak usah, bu. Rencananya kami mau keliling-keliling naik sepeda, kemudian beli es krim, duduk-duduk di kebun singkong di dekat rumah Bea”, jawab Raras dengan mata berbinar.
Raras, anakku yang satu ini memang sederhana. Terharu kupeluk Raras dan kubelai rambutnya yang panjang.

“Ade ingin hadiah apa dari ibu?”, tanyaku
“Raras ingin dibuatkan cerpen, bu”
“Hah, cerpen?”, terheran-heran aku memandang Raras.
“Cerpen yang peran utamanya Raras, bu”
“Baik, nanti ibu buatkan”, jawabku.

Hari ini kebetulan pekerjaan di kantor tidak terlalu banyak sehingga aku bisa membuatkan cerpen untuk Raras. Cerpen akan kuberikan saat pesta ulang tahunnya nanti malam. Aku pun mengirim sms ke teman-teman terdekatku yang mengenal Raras, agar mengirim ucapan selamat untuk Raras via ponselku. Perhatian seperti ini lebih berarti buat Raras dan akan membuatnya senang.
“Selamat ulang tahun, Raras. Ibu punya hadiah spesial untukmu. Sebuah cerpen dan ucapan selamat dari teman-teman terdekat ibu”. Waktu menunjukan pukul 15.30, segera aku pulang, tidak sabar ingin menghadiri pesta ulang tahun Raras malam ini.
Depok, 12 September 2007

Tidak ada komentar: