Aya membuka mata. Dikerjap-kerjap sesaat. Matahari pagi menerobos melalui jalusi di atas jendela. Diregangkan badannya yang kaku. Semalam begitu lelap, sehingga mungkin tidur pada satu posisi. Atau bisa juga karena kumpulan lelah dari senin hingga jumat. Aya bangun menuju kamar mandi, hanya untuk buang air kecil, gosok gigi, dan cuci muka. Ini hari sabtu, saatnya bermalas-malasan, termasuk malas mandi. Kemudian mengganti baby dollnya dengan kaos dan celana pendek.
Tergesa disusurinya trotoar menuju pasar tradisional Ubud. Jalan masih lengang, sebagian besar toko di sepanjang jalan Monkey Forest masih tutup. Hanya beberapa sedang mempersiapkan dagangannya. Berbeda dengan pasar Ubud yang sudah dipadati para pembeli.
Dilewatinya lapangan bola Ubud yang penuh dengan sampah. Semalam ada beberapa pertunjukan di situ. Panggung musik, pertunjukan wayang dan tari-tarian. Warga Ubud, tua dan muda, penduduk dan turis, tumplek di situ semalam. Namun Aya lebih suka menonton tari-tarian di istana Ubud. Tidak terlalu ramai, sebagian besar turis. Tari Panyembrama, Oleg Tambulilingan, Kebyar Duduk, Kupu-kupu Tarum, Legong Keraton, Legong Kembar, dan beberapa tarian lain yang sudah sering Aya tonton, tetapi tidak pernah bosan untuk kembali menonton. Tari Oleg Tambulilingan adalah favorite Aya. Tarian yang menggambarkan sepasang kumbang yang sedang bermesraan di taman. Tarian ini menggambarkan laki dan perempuan saling membutuhkan.
Musik yang dihasilkan sekagong (grup penabuh) untuk mengiringi para penari, sebentar terdengar semangat dan gairah, kemudian berubah lembut dan mendayu. Semua indra sang penari bereaksi mengikuti musik. Mata, kepala, tangan, kaki dan tubuh penari menghasilkan gerakan yang selaras, dinamis dan indah.
Sudah 3 bulan Aya pindah ke Denpasar untuk bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah lembaga pendidikan bahasa. Hampir setiap sabtu minggu dihabiskan di Ubud. Untuk menikmati nasi bubuh (bubur nasi) pasar Ubud, tari-tarian di istana Ubud atau sekedar menyusuri trotoar menikmati toko-toko di kiri kanan.
Dipercepat langkahnya. Jangan sampai kehabisan nasi bubuh yang lezat. Para meme (ibu) berjualan sudah sejak pukul 6 pagi tadi. Tiba di pasar, 3 dari 4 meme yang biasa menjajakan makanan matang, sedang dikeroyok para pembelinya. Mereka rela menunggu giliran untuk dilayani dan berdesakan di gang kecil. Kadang harus berdiri lebih rapat lagi, karena ada pedagang lewat membawa meja kecil, penuh dengan barang dagangan, di atas kepalanya.
Meme penjual nasi bubuh melayani para pembeli dengan sigap. Digelarnya dua rangkap daun pisang ditangan kirinya, diatasnya bubur nasi dituang dan diratakan. Diambil sejumput sambal (irisan cabe yang digoreng) dengan tangan kanannya yang kurus, kering dan keriput, diratakan di atas bubur, juga dengan tangannya. Lalu dengan sendok dibuatnya cekungan di atas bubur dan diisi lakar nyuh (santan). Kemudian merauk irisan jukut (sayuran) yang telah diadon dengan lakar nyuh, sambal dan garam, untuk mengisi cekungan. Setelah ditambah kuah lainnya, ditutupnya daun sedemikian rupa, dikunci dengan batang bambu yang diserut serupa lidi, sehingga bubur berkuah tidak tumpah. Seorang pembeli menerima bungkusan nasi bubuh dan meletakan dua lembar ribuan kumal ke atas baskom sayuran. Meme penjual nasi bubuh mencuci tangan di ember kecil di bawah mejanya, dikeringkan dengan serbet lusuh dan mengambil uang, dimasukannya ke dalam laci meja yang sudah penuh lembaran. Kemudian melayani pembeli berikutnya.
Sebagian besar pembeli ibu-ibu yang baru pulang belanja. Ada juga seorang bapak dengan anaknya yang tampak lapar, sehingga merengek tidak sabar menunggu giliran. Seorang nenek mendapat giliran, menyerahkan mangkok dan uang seribu yang kemudian diisi bubur dan disiram lakar nyuh.
“Ne gen (Cuma ini)?”, tanya meme penjual nasi bubuh.
“Kangguang sing lah pipis (tidak ada uang lagi)”
“Dadong nyak jukut, yang ne meli yang (Nenek mau sayur? Ini saya belikan)”, seorang ibu yang kasihan melempar selembar uang ribuan ke atas baskom. Meme penjual kemudian merauk sayuran dan ditaruh di mangkok.
Aya menerima bungkusan buburnya tak lama kemudian. Lalu dibelinya ketan hitam dan serabi yang dicampur parutan kelapa dan disiram kuah gula merah. Aya belum selesai, dimasukinya pasar menuju penjual makanan dari tuna. Sesaat Aya bingung memilih antara sate dan pepes tuna untuk makan paginya. Akhirnya dibelinya 5 tusuk sate tuna. Kemudian Aya kembali menyusuri trotoar, menuju hotelnya di jalan Monkey Forest. Hotel untuk backpakers. Bersih, aman dan yang jelas murah.
Seminggu terakhir ini, Arry membujuknya untuk kembali ke Jakarta. Pemuda yang telah mengisi hatinya lebih dari 2 tahun. Aya sedang berusaha keras untuk melupakannya. Kuncup cinta yang telah tumbuh dan berakar selama 2 tahun harus dimusnahkan. Hubungannya dengan Arry tidak jelas muaranya.
Pagi itu turun dari metromini, Aya berjalan secepat menuju kantornya, dilihatnya awan gelap menyelimuti langit Jakarta. Setengah berlari Aya menyebrangi jembatan. Namun di tengah jembatan, hujan turun dengan lebat. Aya tiba di kantor Satpam, basah kuyup. Terpaksa dia harus berteduh di situ, antara kantor satpam dan kantornya masih 10 meter lagi. Tiba-tiba dering SMS ponselnya berbunyi.
“Dimana?”, sebuah nomor tidak dikenal menyapanya.
“Siapa ini? Aku sedang berteduh di kantor satpam, basah kuyup”
“Ini Arry. Kasihan jeng Aya”, Aya terlonjak kaget sekaligus gembira. Arry, pemuda yang belakangan ini menyita pikirannya tiba-tiba muncul setelah menghilang beberapa bulan.
“Kemana saja?”, reply Aya.
“Iya nih, aku kangen”, Arry aku juga rindu sekali denganmu.
Selanjutnya mereka sering bertemu. Jika tidak bisa bertemu, SMS atau email tidak pernah berhenti sebagai obat rindu.
“Aku bukan laki-laki yang romantis”, suatu hari di cafe sunset. Cafe kecil yang letaknya tersembunyi ke dalam, memiliki pemandangan yang indah ke arah gunung salak. Hujan turun rintik-rintik saat itu. Sepiring pisang goreng, teh tawar dan kopi hangat terhidang di depan mereka. Udara cukup dingin saat itu. Tapi suasana menghangatkan keduanya.
Aya bisa merasakan kasih sayang Arry, walaupun dia bukan pemuda yang ekspresif. Berbeda dengan pacarnya Femi, teman satu kantor, yang sering menghujani Femi dengan kata sayang, nyaris setiap hari. Antar jemput Femi ke tempat kerja, belum lagi acara Femi yang lain. Tetapi memang hubungan mereka tidak ditentang orang tua kedua belah pihak.
“Aku merasa nyaman di dekatmu, Ar. Ini kurasakan sejak pertama kali kita bertemu. Dan aku tetap nyaman, walaupun kamu tidak romantis”, dipandangnya wajah Arry. Teman-teman meledeknya hitaci, hitam tapi Cina. Banyak orang tidak menyangka dia pemuda keturunan Cina. Bila tertawa, matanya menjadi lebih sipit, terlihat wajah Cinanya.
“Apakah kamu sayang aku, Ar?”
“Sayang tidak untuk dikatakan. Tapi dirasakan. Apakah kamu tidak merasakan Aya?
Saat aku pertama kali mengantarmu pulang dulu dan kuceritakan tentang diriku. Kalau tidak ada apa-apa, untuk apa aku mengantarmu pulang dan bercerita tentang aku?”
Dibantingnya sendok, buyarlah kenangan manis yang menguasai pikiran Aya. Bubur sayur sudah disantapnya habis, begitu juga ketan hitam dan serabi. Wajah Arry selalu hadir di angannya, ini membuat Aya kesal. Bagaimana bisa melupakannya kalau bayangannya selalu hadir?
Aku merindukan dan menyayanginya, sebenarnya aku juga merasakan kerinduan Arry walaupun dia seperti tidak peduli. Mungkin Arry ingin menjaga perasaan mamanya, sehingga sejak hubungan ini diketahui mamanya setahun yang lalu, Arry seperti membatasi pertemuan dengan Aya. Hari gini masih ada orang tua yang mempersoalkan suku seseorang untuk menjadi menantunya, pikir Aya sedih.
“Papa pergi sejak aku masih SMP. Sejak papa meninggal, aku tidur menemani mama. Aku sering melihat mama menangis malam-malam. Mungkin dia merindukan papa atau merasakan berat harus membimbing dan menghidupi 5 anak sendirian. Saat itu aku tidak mengerti dan bingung apa yang harus kulakukan, jadi aku diam saja.
Sebagai perawat, pendapatan mama tidak terlalu besar, sehingga supaya aku bisa melanjutkan sekolah ke universitas. Aku dan mama mencari bantuan dana ke saudara lain. Untungnya anak-anak mama otaknya cemerlang, sehingga kecuali seorang kakak perempuan, kami semua bisa masuk universitas negeri. Kakak perempuan tidak melanjutkan sekolah, karena harus membantu keuangan keluarga. Dia kakak yang paling dekat denganku. Mama ingin aku bisa menikah dengan gadis keturunan juga. Beliau khawatir, jika menantunya seorang pribumi tidak bisa mengerti keluarga kami”
“Kamu sudah mengenalku cukup lama, Ar. Menurutmu apakah aku akan sulit beradaptasi dengan keluargamu?”
“Aya, pelan-pelan aku akan membuat mama mengerti”
Tetapi Arry terlalu pelan. Sudah sekian lama, mama Arry masih menolaknya. Sehingga pertemuan harus dilakukan diam-diam. Atau pertemuan batal karena bentrok dengan acara mamanya Arry. Walaupun anaknya lima, mamanya Arry nampaknya lebih suka kemana-mana diantar Arry. Ke pasar, arisan keluarga atau ke kuburan papa Arry. Wajar saja, karena memang tinggal dua orang yang masih di rumah, dan tinggal Arry yang belum berkeluarga.
Akhir-akhir ini Arry jarang menghubunginya. Pekerjaannya sepertinya menyita waktu. Aya begitu rindu ingin bertemu, tidak sekedar tahu kabar lewat SMS atau email. Tapi Arry nampaknya lebih fokus pada pekerjaannya. Mungkin dia sedikit demi sedikit ingin menjauhi saya, karena hubungan yang tidak jelas ini, air mata mengambang. Aya sakit hati. Namun ketika bertemu, rasa rindu yang menyesakan melupakan kemarahan. Terlalu berharga waktu yang ada digunakan untuk bertengkar.
Mengapa mama Arry tidak menyukai dirinya? Aya tidak tahu. Tidakkah mama Arry tahu banyak perkawinan beda suku bahkan beda bangsa, tapi berjalan baik-baik saja. Apa yang ditakutkan sebenarnya, jika anaknya menikah dengan pribumi. Jika khawatir Aya tidak bisa mengerti keluarga mereka, mungkin ada satu rahasia keluarga yang masih disimpan, terhadap Arry anaknya sekalipun. Atau mungkin Arry sudah tahu, tetapi enggan bercerita dengannya. Waktu 2 tahun, seharusnya sudah cukup buat Arry untuk meyakinkan mamanya, gadis seperti apa dirinya.
Apakah mama Arry dendam karena peristiwa-peristiwa kerusuhan anti Cina yang selalu terjadi berulang. Namun setahu Aya, keluarga Arry sudah menyatu dengan penduduk sekitar mereka tinggal, bahkan mereka menggunakan bahasa setempat untuk komunikasi baik di dalam keluarga maupun dengan orang-orang di sekitar mereka. Anak-anak dan cucu-cucu keluarga itu pun sudah tidak menggunakan nama-nama Cina.
Arry pernah cerita, saat dia berusia 3 tahun, sekitar tahun 80-an, oom sekeluarga yang tinggal di Solo tiba-tiba datang. Mama, papa dan oom bertangis-tangisan ketika bertemu. Selanjutnya Oom sekeluarga tinggal di rumah keluarga Arry beberapa tahun, setelah itu mereka sekeluarga pindah ke Bandung. Setelah mereka pergi, Arry baru mengerti kalau toko oom di Solo dijarah dan dibakar.
Ketika kerusuhan tahun 1998 melanda Jakarta, para perusuh sama sekali tidak mengganggu mereka. Teman-teman dekat Arry dan tetangga dekat yang pribumi berkumpul di rumah Arry saat itu, ikut menjaga rumah dan keluarga itu. Hingga kini rasanya tidak ada usaha yang nyata dari pihak pemerintah ataupun lembaga-lembaga terkait sehingga peristiwa-peristiwa kerusuhan setiap saat bisa terulang lagi. Beberapa etnis Cina beranggapan kalau bangsa pribumi pemalas, brutal dan jahat. Sebaliknya etnis pribumi sering beranggapan orang Cina pelit, curang dan serakah. Fenomena ini seperti benang kusut sehingga diperlukan kesabaran dan kecerdasan untuk mengurainya sedikit demi sedikit, dan juga cinta, cinta terhadap sesama akan menghapus kemarahan dan kecurigaan.
Rasanya, aku bukan orang yang pemalas. Seperti orang lain, yang Cina atau bukan Cina, aku sekolah kemudian bekerja. Walaupun buatku materi itu penting, rasanya aku tidak matre. Lagipula keluarga Arry bukanlah keluarga yang kaya raya yang hartanya bisa jadi sasaran. Aku suka Arry salah satunya karena kesederhanaannya. Teman-teman menyayanginya karena empatinya pada penderitaan orang lain. Dalam kondisi materi yang tidak banyak, Arry rela merelakan uangnya untuk teman atau saudara yang kesulitan.
Bisa jadi orang tua Arry sudah menjodohkannya dengan gadis yang masih keluarga sejak Arry masih kecil. Dan perjodohan itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. Apalagi papa Arry sudah meninggal. Ini adalah pesan dari orang yang sudah meninggal. Tapi Arry tidak pernah cerita. Dia tidak ingin menyakitiku? Mungkin saat ini Arry sedang mempertimbangkan untuk menerima perjodohan itu. Arry sangat menyayangi mamanya, dia tidak mau menyakitinya, karena sudah membesarkannya dengan susah payah. Hati Aya terasa sakit. Aya menangis.
Seharusnya Arry tegas saja, sehingga dia tidak terombang-ambing seperti ini. Jika Arry tidak bisa tegas, maka dirinyalah yang harus tegas. Ketika sebuah lembaga pendidikan bahasa mencari tenaga administrasi untuk ditempatkan di Denpasar. Tanpa berpikir panjang Aya melamar. Tak disangka dirinya lulus serangkaian proses penerimaan. Buat Aya bekerja dikota mana pun tidak menjadi masalah, karena memang sejak sekolah dia jauh dari orang tua.
Aya tidak perlu minta pertimbangan Arry untuk menerima kesempatan kerja di pulau dewata. Ini adalah kesempatan untuk menjauh darinya. Mudah-mudahan aku segera bisa melupakannya. Ketika Arry sangat marah karena diabaikan. Aya berterus terang bahwa dia lelah dengan hubungan yang tidak berujung ini. Sementara Arry seperti tidak peduli, mencari kesibukan sendiri.
Arry berkenan mengantarnya ke bandara. Aya ragu untuk pergi. Terasa juga olehnya kegundahan hati Arry. Terakhir Aya menengok kebelakang, dilihatnya pemuda hitaci itu mengusap matanya. Kata orang, cinta tidak harus memiliki. Tetapi betapa pahit cinta yang tidak termiliki. Dikuatkan hatinya ketika menapaki tangga pesawat yang akan membawanya ke pulau dewata. Aya menangis.
Kepergiannya adalah usaha untuk melupakan cintanya. Setiap sudut kota mengingatkan kenangan dengan Arry, bahkan baju-bajunya pun mengingatkan Aya suatu peristiwa. Blus ungu polos ini, saat pertama Arry membawa Aya ke rumahnya dan rumahnya kosong. Arry membawa Aya ke ruang kerjanya di lantai dua, mungil tapi cukup nyaman. Saat itu, tiba-tiba Arry memeluknya dan berbisik dia rindu. Mereka pelukan dan ciuman lama sekali dan baru berhenti setelah tubuh keduanya gerah dan berkeringat.
Tiga bulan sudah Aya tinggal di Denpasar. Tapi Arry masih tetap tinggal di sudut hatinya yang terdalam. Bayangan Arry kerap mengunjunginya. Aya sudah pergi beratus-ratus kilometer dari Arry. Tetapi sangat sulit melupakan pemuda yang sudah sekian lama mengisi hatinya. Sesungguhnya dia merasa sepi. Ada cinta yang besar untuk Arry, Arry yang tidak romantis, yang terkadang tidak peduli. Aya menangis. Bukankah cinta itu seharusnya manis. Tetapi kenapa cintanya terasa pahit.
“Aku ingin kamu kembali, aku merindukanmu”, SMS Arry. Kata-kata yang sama yang kesekian dalam minggu ini. Aya menangis.
“Untuk apa? Aku bekerja di sini. Keadaan tidak akan berubah jika aku kembali”
“Pulanglah Aya. Carilah kerja di sini, kita hadapi masalah ini bersama. Maafkan sikapku sebelumnya. Saya menyesal, Aya. Seharusnya hubungan kita kokohkan untuk menghadapi masalah ini”
“Apakah kamu sayang aku, Ar?”
“Iya, sangat. Aku rindu, Aya”
Aya menangis. Aku mencintaimu, Arry. Aku ingin mama tahu, bahwa aku punya cinta yang besar untuk anaknya dan seluruh keluarga.
Aku akan pulang Arry, sesungguhnya aku tidak bisa jauh darimu..................
Ubud, 25-30 September 2007
14.12.07
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar