Setelah menarik napas panjang, pelan-pelan dibukanya pintu kelas. Kak Ronald, pelatih basket sekaligus pimpinan klubnya nampak duduk di atas meja, kakinya bertumpu di bangku di depannya, tangannya memutar-mutar bola basket. Nampak agak gelisah. Kannika melangkah ragu ke dalam kelas. Ada apa sebenarnya, kenapa kak Ronald memanggilnya?
Sesuatu yang aneh juga terjadi beberapa hari ini. Tiba-tiba Indra – teman sesama atlit di klub basket - menjemputnya untuk latihan. Dan ketika latihan usai, dia berkenan mengantarnya pulang. Padahal rumahnya berlawanan arah, tetapi Indra mau berepot-repot antar jemput ke lapangan seminggu terakhir ini. Karena Indra beberapa kali menjemput Kannika, Fonni, teman terdekatnya di klub basket, tidak pernah menjemputnya lagi. Sudah dua kali latihan, Fonni tidak pernah hadir di lapangan.
Yang lebih aneh lagi, Kannika sama sekali tidak merasakan Indra suka dengannya. Selama perjalanan dari rumah ke lapangan yang menempuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki, Indra tidak banyak cakap. Indra sama sekali tidak grogi, bahkan nampaknya seperti terpaksa. Kalau terpaksa kenapa dia repot-repot antar jemput. Indra juga pasti tahu, aku sama sekali sedang tidak naksir dia, pikir Kannika bingung.
Sebenarnya ada seseorang yang Kannika suka di klub. Sudah lama Kannika memperhatikannya. Sejak kelas III SMP, sekarang Kannika kelas I SMU. Adrian tidak terlalu tinggi, tidak gemuk, wajahnya biasa saja. Kannika suka senyum Adrian. Buat Kannika, senyum Adrian tampak tulus. Pandangan mata Adrian juga lembut. Dari senyum dan pandangan matanya, rasanya Adrian juga menaruh hati.
Kannika tahu, Adrian pasti tahu kalau Kannika suka padanya. Tetapi Adrian nampaknya tidak peduli. Mungkin dia tidak berani dengan gadis seperti aku, pikir Kannika. Rumah orang tuanya terletak di jalan utama. Kannika bersekolah di SMP unggulan dan kemudian masuk SMU unggulan di daerah itu. Otaknya memang cukup cemerlang.
Sedangkan Adrian, rumah orang tuanya terletak di jalan kedua. Masih bisa di lewati mobil, asal jangan berpapasan. Adrian bersekolah di SMU tidak berperingkat di daerah itu. Prestasinya pun hanya rata-rata. Kalau boleh memilih, aku ingin Adrian saja yang antar jemput ke lapangan, pikir Kania nakal. Tetapi sebenarnya ada apa dengan Indra. Siapa yang menyuruhnya antar jemput aku?
“Masuk Kannika!”, suara kak Ronald terdengar terlalu keras di telinga Kannika.
Kannika mengambil kursi di samping kak Ronald. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu?”
“Tidak, kak”
“Saya tidak mau berlama-lama, latihan sebentar lagi dimulai”, Kak Ronald tampak gelisah. Bola basket di tangannya menjadi korban. Sebentar di putar, sebentar di drible, pindah tangan kiri dan kanan. Wajahnya berkerut seperti berpikir, bola matanya pun nampak tidak tenang. Yang jelas, tidak berani menatap Kannika.
“Saya minta kamu menjauh dari Fonni”, Kannika memandang kak Ronald, heran. “Kamu pasti tahu alasannya”, lanjut kak Ronald.
“Apa alasannya?”, tanya Kannika polos.
“Kamu teman dekatnya. Kamu lebih tahu, siapa dia”, jawab kak Ronald diplomatis.
“Memangnya siapa dia?”, jantungnya mulai berdegup.
******
Sebenarnya Kannika tahu, apa yang dimaksud kak Ronald. Namun hati kecilnya mengatakan, dia harus berpihak kepada Fonni. Walau bagaimanapun Fonni adalah sahabatnya sejak lama. Memang ada beberapa sikap Fonni yang terasa janggal, tetapi Kannika pikir, mungkin itu ungkapan kasih sayang Fonni padanya. Tetapi sejujurnya Kannika ragu, apakah normal ungkapan kasih dua perempuan seperti itu?
Fonni, gadis kelahiran tanah manise, dua tahun lebih tua dari Kannika. Fonni satu sekolah dengan Adrian. Mungkin mereka pernah sekelas, entah di kelas satu atau dua. Sejak pertama kali bertemu di klub basket, nampaknya Fonni sudah tertarik dengan Kannika.
Awalnya mereka bersahabat bertiga. Kannika, Fonni dan Mei. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya. Kannika merasa tidak cocok dengan Mei. Menurut Kannika, Mei terlalu glamour dan terkadang terlalu angkuh, mungkin karena uang jajan pemberian orang tuanya banyak. Selanjutnya tinggal Kannika dan Fonni yang bersahabat.
Di klub basket, Fonni adalah bintang. Dia lincah menyusup dan menembus pertahanan lawan kemudian slum dunk untuk memasukan bola ke jaring lawan. Tubuhnya mungil, kurus, lurus, hitam, payudaranya rata. Kecuali ke sekolah dan gereja, Fonni lebih suka mengenakan celana panjang dan kaos longgar. Dengan sorot mata yang tajam dan menusuk, sepintas dia seperti laki-laki. Kalau berbicara dan tertawa, baru kelihatan dia perempuan.
Untuk atlit putri ada hari absen latihan, terutama di jadwal latihan fisik. Pada saat latihan fisik, atlit sering dibuat terkencing-kencing saking lelahnya. Banyak atlit putri enggan mengikuti latihan fisik bila sedang datang bulan. Tetapi Fonni tidak pernah absen sama sekali, dia dikenal sebagai atlit putri yang paling rajin. Sehingga Mei pernah berseloroh, Fonni tidak pernah datang bulan.
Fonni pandai menghidupkan suasana. Sikapnya ramah dan menyenangkan, sehingga gadis yang pendiam bisa jadi ceriwis dibuatnya. Fonni juga pandai memetik gitar. Dia sering meminta Kannika dan atlit-atlit yang lain bernyanyi diiringi gitarnya. Sehingga saat menunggu waktu latihan atau istirahat menjadi ramai dan riuh. Fonni sering menjadi bintang saat kumpul-kumpul seperti itu.
Fonni tinggal di rumah kontrakan dengan ibu dan seorang kakak dan adik laki-laki. Bapak Fonni meninggal ketika dia masih kecil. Adik Fonni sebaya Kannika, bersekolah di SMK. Sedangkan kakak Fonni pengangguran. Fonni sering cerita tentang adiknya, tetapi tidak pernah tentang kakaknya. Tidak tahu persis, siapa yang membiayai keluarga itu.
Pada suatu minggu siang, ketika Kannika bertandang ke rumah Fonni, dilihatnya kakak Fonni sedang tiduran sambil merokok di ruang tamu. Matanya terpejam, tampak menikmati rokoknya, tidak terganggu sama sekali dengan kemunculan Kannika. Bau asap rokok itu agak aneh. Aromanya wangi yang khas.
“Kok, bau asap rokoknya agak aneh ya?”, Kannika menghirup dalam-dalam.
“Itu bukan rokok biasa, campur ganja”, jawab Fonni. “Kakakku emang tukang ngegele”, lanjut Fonni.
“Kakakmu kerja atau sekolah?”
“Tidak kerja dan tidak sekolah. Kerjanya ngabisin duit mama untuk beli ganja”, jawab Fonni sambil menarik Kannika masuk ke kamarnya. Mereka selalu ngobrol dikamar Fonni.
Mamanya Fonni ramah dan sering mengajak Kannika bicara kalau sedang main ke rumah itu. Nampaknya Fonni mendapat warisan sikap ramah dari mamanya. Sedangkan adik Fonni tidak pernah menyapa Kannika.
Ketika Kannika lulus SMP dan masuk SMU, Fonni semakin sering main ke rumah Kannika, bahkan terkadang menjemput Kannika di sekolahnya. Setelah itu mereka ngobrol di teras rumah Kannika - orang tua Kannika tidak membolehkan tamu anaknya main di kamar tidur – atau tidur-tiduran di kamar Fonni.
Pada awalnya Kannika merasa aneh, tapi kemudian menjadi terbiasa, ketika Fonni sering bilang kangen padanya. Sering Fonni memeluk dan mencium pipinya sambil mengatakan kangen. Selain bertemu seminggu tiga kali di lapangan basket, sering juga Fonni menjemputnya sebelum latihan, Fonni sering datang ke rumah Kannika pada hari-hari lainnya.
Untuk Kannika, Fonni teman yang menyenangkan. Kannika bisa bercerita apa saja kecuali tentang Adrian. Kannika enggan bercerita mengenai perasaannya terhadap Adrian pada siapa pun. Biasanya tentang papa yang otoriter - Kannika tidak diperbolehkan berkeliaran di luar rumah dengan alasan apapun setelah jam 6 sore kecuali dengan kedua orang tuanya - atau tentang teman-temannya di sekolah, Padma, Dres dan Edi. Dunia Kannika hanyalah sebatas rumah, sekolah, rumah Fonni dan lapangan basket.
Dalam keseharian Kannika lebih banyak memikirkan pelajaran sekolah, diseling membaca novel atau ngobrol dengan Fonni. Tampaknya tidak ada masalah dalam hidupnya, kecuali keinginannya untuk jauh dari orang tua, supaya bisa lebih sering berkumpul dengan teman-temannya.
Bila malam tiba, Kannika menyibukan dirinya dengan PR sekolah, membaca buku paket sekolah, latihan soal matematika, menonton televisi, makan malam dan tidur. Diusianya yang 16 tahun, belum ada tamu laki-laki di malam minggu. Terkadang hari minggu sore, Dres atau Edi atau keduanya datang ke rumah Kannika. Tetapi sikap orang tua Kannika yang tidak ramah, membuat mereka jarang datang. Kannika sendiri lebih suka mereka tidak datang ke rumahnya.
Sepi sebenarnya yang dirasakan Kannika dalam kesehariannya. Sekali-sekali Kannika ingin bisa berkumpul dengan teman-teman sekolahnya. Biasanya ada yang ulang tahun dan mentraktir makan di suatu tempat. Atau ada acara yang diselenggarakan sekolah dan mereka terlibat dalam kepanityaan. Mereka akan kumpul di rumah seorang teman, membicarakan rencana kegiatan yang akan dilakukan atau hanya ngobrol kesana kemari menghabiskan waktu. Teman-teman sekolahnya di SMU unggulan pintar-pintar. Mereka tidak hanya pintar dalam pelajaran sekolah tetapi juga aktif dalam organisasi sekolah. Kegiatan sekolah dilakukan pada sore hari, jika ada acara khusus, persiapan bahkan sampai malam.
Pernah pada suatu kegiatan sekolah, Kannika harus meninggalkan teman-temannya yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya, karena waktu sudah menunjukan pukul 17 lewat. Papa akan marah besar, jika sampai petang Kannika belum pulang. Kannika tahu teman-temann maklum dengan aturan di rumahnya. Tetapi Kannika lebih nyaman dengan menghentikan aktivitas di sekolah. Kegiatan di luar sekolah cukup berlatih basket seminggu tiga kali jam 3 hingga 5 sore, kemudian pulang dan asyik sendiri di kamarnya.
******
Selama ini Fonni banyak membina keakraban dengan teman perempuan. Di antara teman perempuan, Fonni merasa dibutuhkan. Beberapa temen perempuan sering meminta antar kesana dan kesini. Postur dan sikapnya yang kelelakian membuat teman-teman perempuannya lebih nyaman bersamanya daripada dengan teman lelaki, paling tidak orang tua mereka tidak cerewet melepas anak gadisnya pergi dengan perempuan, terutama di malam hari. Tetapi Fonni bukannya tidak pernah memilih. Tanpa disadari dia menyukai perempuan yang putih, lembut dan tampak rapuh. Mereka perlu dilindungi dan diperhatikan, demikian batin Fonni.
Fonni nampak bergairah mengisi hari-hari Kannika. Jika Kannika mau, dia bisa datang ke rumahnya setiap hari, termasuk hari minggu. Entah sejak kapan, sering ada rasa rindu terhadap Kannika. Ingin memeluk tubuhnya yang montok dan mencium pipinya. Apalagi sejak di SMU, tubuh Kannika padat berisi, payudaranya penuh dan tegak, kulit tubuhnya bersih, bibirnya kemerahan diatas kulit wajah yang putih. Ada perasaan aneh yang muncul belakangan. Perasaan ini membuat Fonni mengubah panggilan menjadi ‘sayang’ jika mereka sedang berdua saja. Semula Kannika kaget mendengar Fonni memanggilnya ‘sayang’, tetapi menjadi terbiasa karena sering berulang.
Sore itu di lapangan, Kannika nampak menggemaskan dengan kaos kutung warna putih bersetrip merah di sepanjang pinggang kanan kiri dan nomor 14 di punggung dan dada kiri. Bercelana pendek bersetrip merah, juga di kanan kirinya. Kulitnya nampak bening bersinar dengan pipi kemerahan terkena sinar matahari sore, keringatnya bercucuran. Fonni tidak sabar menunggu saat istirahat. Jantung rasanya berdebar memandang Kannika, apalagi saat dia berlari, dadanya terguncang-guncang. Fonni menarik napas dalam mencoba berkonsentrasi ketika akan melakukan long shoot.
“Kan, kamu cakep banget sore ini”, bisik Fonni tidak bisa menahan diri ketika pluit panjang tanda istirahat terdengar. Kannika memandang Fonni sesaat, kemudian menghambur ke tasnya untuk mengambil botol minum. Fonni mengikutinya.
“Kan, pipimu merah banget. Aku pengen cium pipimu”, bisik Fonni lagi. Tanpa melepaskan botol dari mulutnya, Kannika menyorongkan pipinya untuk di cium. Tapi Fonni tidak segera mencium. Tiba-tiba ada perasaan malu, teman-teman sepertinya memandang tingkah laku mereka. Fonni resah.....
“Kan, ke toilet yuk”
“Yuk, aku juga kebelet pipis”
Di toilet Fonni menciumi pipi Kannika, gemas.
Dan sejak itu, setiap Kannika ingin pipis, Fonni menemaninya ke toilet.
******
Sore itu, sepulang sekolah Kannika tidur-tiduran di kamar Fonni. Rok abu-abunya tertarik ke atas, sehingga pahanya yang putih mulus terbuka. Fonni yang berbaring di sampingnya menggesek-gesekkan pahanya ke paha Kannika seraya menciumi pipi Kannika.
Mata Kannika terpejam, tidak diperhatikannya kelakuan Fonni. Kannika sedang memikirkan Adrian. Kemarin sore, sikap Adrian agak berbeda. Saat istirahat - Fonni yang biasanya ada di sampingnya sedang menerima latihan ekstra dari kak Ronald - Adrian mendekati dan duduk di sampingnya.
“Gimana kabarnya, Kan?”, sapa Adrian seraya tersenyum.
Kannika kikuk, wajahnya terasa panas, selama ini Adrian tidak pernah mencuri waktu berduaan dengan Kannika. Beberapa kali memang Adrian memergoki Kannika tanpa sadar sedang memandangnya, laki-laki itu segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Paling jauh, Adrian memberinya senyum. Tapi Kannika segera melengos, merasa malu terpergok.
“Ya, kayak gini....”, Kannika tidak peduli.
“Hmm, ngomong-ngomong Fonni sering ya main ke rumahmu?”
“Emang kenapa?”
Tiba-tiba Kannika tersentak, membuka matanya. Fonni mencoba mencium bibirnya.
“Mau apa?”, Kannika heran.
Fonni tertawa.
“Sengaja....biar kamu bangun. Kamu lagi mikir apa sih?”
“Nggak”
“Kamu pernah dicium cowok, Kan?”
“Belum”
“Mau kuajarin ciuman?”
Tanpa menunggu jawaban Kannika. Fonni mengecup bibir Kannika. Sekali...dua kali.....tiba-tiba pintu kamar Fonni dibuka. Kakak Fonni masuk, menyeringai ke mereka berdua. Tergesa Fonni bangun, kemudian mengambil uang dari dalam tas sekolahnya. Kakaknya merampas uang dari tangan Fonni. Fonni segera menutup pintu kamar.
“Aku pulang ya...”, Kannika merasa tidak nyaman lagi di rumah Fonni.
“Yuk, aku antar”
Setiba di rumah Kannika, Fonni tidur-tiduran di teras rumah Kannika yang sejuk dengan pepohonan. Kannika duduk memandang Fonni. Matanya tertumbuk pada area di antara dua paha Fonni. Tampak cairan dari selangkangannya, menembus, membasahi celana panjang yang dikenakan.
“Ngompol ya...kok selangkangan basah?”
Segera Fonni merapatkan kedua pahanya.
“Nggak, mungkin aku tadi duduk di tempat yang basah”
Kannika tertegun memandang Fonni. Kalau Fonni duduk di tempat yang basah, bukan di area itu basahnya. Yang Kannika tahu, dia juga basah kalau sedang ingat-ingat senyum dan tatapan mata Adrian. Apalagi seperti sore kemarin, ketika Adrian tiba-tiba mendekatinya.
“Aku cuma mau bilang, hati-hati ya...”
Adrian pergi seraya meninggalkan senyum dan tatap matanya yang memikat. Kannika tertegun, dia minta aku berhati-hati dengan Fonni. Adrian, kenapa kamu tidak peduli denganku, aku suka kamu sejak lama, Kannika mengeluh.
Siapa laki-laki yang membuat Fonni basah? Sesaat Kannika teringat ciuman Fonni. Apakah Fonni basah karena ciuman tadi? Ah.....
Kannika menatap Fonni, sinar matanya curiga. Fonni menatap Kannika, gelisah dan ada ketakutan.
******
Minggu siang, usai kebaktian di gereja Sang Timur, Kannika melihat Fonni menunggunya di halaman gereja.
“Heh, ngapain kesini?”
“Siapa yang melarang?”
“Tidak ada. Tapi kok tumben”
“Aku mau ajak kamu ke sekolahku. Ada panggung musik”
“Aku bilang papa mama dulu”
Kannika berlari menuju orang tuanya. Tak lama dia kembali ke Fonni.
Acara sedang berlangsung ketika Kannika dan Fonni tiba di halaman sekolah. Mereka lesehan dibawah pohon, berbaur dengan siswa yang lain. Beberapa siswa menyapa Fonni akrab. Sedang asyik mendengarkan musik, tiba-tiba seseorang menepuk pundak Kannika. Adrian berjongkok di belakangnya.
“Sama siapa?”, Adrian berteriak karena suara musik sangat keras.
Kannika menunjuk Fonni di sampingnya. Adrian dan Fonni saling menyapa.
“Kan, ikut aku yuk. Ada tempat yang lebih nyaman daripada di sini”, Kannika ragu. Jantung di dadanya sulit dikendalikan. Adrian menatapnya, menunggu jawaban.
“Sebentar saja, ada yang ingin kubicarakan, nanti kuantar kamu kesini lagi”, Adrian bicara di telinga Kannika, supaya tidak perlu berteriak. Tangannya memegang bahu Kannika. Kali ini napas Kannika sulit dikendalikan. Belum pernah Adrian sedekat ini dengannya. Iya...iya... aku mau, tetapi bagaimana dengan Fonni, Kannika gelisah. Adrian menangkap kegelisahan Kannika.
“Fon, aku ajak Kannika sebentar, ada yang mau kuperlihatkan. Nanti kuantar Kannika kesini lagi”, teriak Adrian pada Fonni.
Sesaat Fonni ragu, tetapi kemudian mengangguk. Sinar mata tidak suka mengiringi kepergian Kannika dan Adrian.
Adrian membawa Kannika ke halaman dalam sekolah. SMU itu memiliki beberapa halaman. Halaman dalam sekolah terbagi dua karena landscape tanahnya. Sebagian halaman di atas dan sebagian di bawah, dihubungkan dengan beberapa anak tangga. Adrian mengajak Kannika duduk di anak-anak tangga. Suara musik terdengar dari tempat mereka. Kannika duduk dengan gelisah. Adrian terlihat menarik minggu siang itu. Dia mengenakan celana jeans dipadu kaos polo kombinasi warna biru tua dan putih.
“Kan, mmh... kamu tahu tidak kalau sedang menjadi bahan pembicaraan di klub?”
Wajah Adrian serius, tidak ada senyum.
Kannika menggeleng.
“Aku yakin kamu cewek normal. Aku bisa merasakan, kamu suka sama aku....”, Adrian melirik, wajah Kannika merona.
“Aku...aku... sebenarnya juga suka sama kamu. Tapi tidak sekarang. Aku belum punya apa-apa, Kan. Dan sebentar lagi aku akan ujian SMU”
“Kuharap kamu jujur, Kan. Apakah keakrabanmu dengan Fonni, keakraban yang wajar?”
Kali ini Kannika menatap Adrian.
“Maaf, Kan. Aku nggak ingin kamu jadi buah bibir yang jelek di klub”
Sesaat mereka bertatapan. Kannika mengerti, Adrian bermaksud menolongnya.
“Kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku. Berhati-hatilah kalau bukan keakraban yang wajar”
“Yuk, kita ke depan. Sudah cukup lama kita di sini”, ajak Adrian lembut.
Sebelum tiba di tempat Fonni, mereka berpapasan. Fonni tidak bisa menutupi kekesalannya. Diajaknya Kannika pulang, setelah berbasa basi dengan Adrian.
“Dia memperlihatkan apa?”, Fonni penasaran.
“Tidak ada. Dia mengajakku berbicara”
“Bicara apa?”
“Adrian suka sama aku, dan aku juga sudah lama suka dengan Adrian. Kami jadian. Kasih aku selamat, Fon”, Kannika mengulurkan tangannya. Entah, tiba-tiba Kannika mendapat ide untuk berbicara begitu.
Sesaat Fonni tertegun. Diabaikannya tangan Kannika.
“Malam mingguku tidak sepi lagi, Fon. Sekarang ada Adrian”
“Kannika, aku nggak suka dengan Adrian!”
“Kenapa? Adrian baik, lembut. Maaf ya, Fon. Kita mungkin tidak akan sering-sering lagi bertemu”
Sepanjang perjalanan, Fonni terdiam. Rahangnya mengatup rapat. Otot-otot di tangannya mengeras dan sorot matanya liar. Setelah mengantar Kannika pulang, Fonni langsung pulang. Tidak di dengarnya tawaran Kannika untuk mampir.
Maafkan aku, Fon. Tetapi aku memang tidak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Beginilah cara yang paling baik untuk mengakhiri keakraban yang tidak wajar ini.
******
“Dia itu lesbian tau!”, kata kak Ronald kesal.
“Saya yang paling tahu, Fonni lesbian atau bukan”, Kannika berkata dingin.
“Orang tua saya tidak melarang saya bergaul dengan Fonni. Kalau kak Ronald tidak suka, saya akan keluar dari klub”, Kannika berkata seraya berdiri dan berjalan menuju pintu. Terjawab sudah keanehan-keanehan yang terjadi.
Kannika kecewa, kenapa mereka harus mengeluarkan Fonni dari klub ini. Dan mereka menyuruh Indra antar jemput untuk menjauhkannya dari Fonni.
Sebelum pulang, ditemuinya Adrian.
“Aku tidak latihan sore ini. Aku tunggu kamu di rumah”, setelah berganti pakaian dan mengemasi barang-barangnya Kannika pulang.
Minggu sore itu Adrian hadir di teras rumahnya. Kannika merasa dekat dengan Adrian kini. Ternyata selama ini Adrian diam-diam juga memperhatikannya.
“Klub jadi terasi sepi tanpa kamu”
Kannika tersenyum. Dia tahu pipinya pasti merah saat itu.
“Aku nggak bisa bertahan di klub itu. Kalau Fonni dikeluarkan, saya juga harus dikeluarkan. Fonni baik dengan saya selama ini, walaupun dia.....”, Kannika terdiam, diliriknya Adrian, yang ternyata sedang menatapnya.
“Kalau tidak nyaman, tidak perlu cerita, Kan. Saya bisa menduga apa yang terjadi. Cuma aku pengen tahu, kenapa Fonni jadi jarang main ke sini lagi?”
“Dia marah. Aku bilang, kita pacaran, jadi aku tidak bisa lagi sering-sering bertemu dengannya, karena sudah ada kamu”, Kannika khawatir, ditatapnya Adrian. “Itu cuma alasan saja. Maaf, kalau kamu tidak suka”
Adrian tersenyum, lembut ditatapnya Kannika.
“Aku suka, Kan. Tapi seperti yang pernah aku bilang, kita masih SMU dan aku belum punya apa-apa”
“Aku mengerti, Ad. Kamu perlu tahu, saya juga belum punya apa-apa”, ditatapnya Adrian.
Kannika merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Emosinya begitu terkontrol walaupun usianya tidak terpaut jauh dari dirinya.
Beberapa kali Fonni main ke rumah, Kannika menerimanya dengan baik. Tidak lama kemudian Fonni menghilang tanpa kabar. Hingga suatu hari, Kannika mendengar kabar, setelah lulus SMU, Fonni masuk Susteran Santa Perawan Maria di kota Malang. Sedangkan Adrian diterima di universitas negeri di kota Bandung.
Jakarta, 1981-1982
14.12.07
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar