14.12.07

KEMBALI KE JAKARTA

Perlahan aku duduk di kursi kosong di depan ibu. Wanita setengah baya yang sedang duduk sendiri di teras belakang rumah. Ibu tampak gundah. Wajahnya menatap kosong ke pohon rambutan di halaman belakang.

”Bu, aku sudah memutuskan. Aku akan tetap bekerja di Bandung”, kataku hati-hati. Kutunggu reaksi ibu. Tetapi beliau diam saja. ”Aku berangkat sekarang, bu”, pamitku.

Akhirnya Ibu melihat kearahku, tersenyum dan mengangguk. ”Hati-hati di jalan”, kata ibu. Kulihat rasa ikhlas terpancar di wajahnya. Aku segera berangkat menuju stasiun jatinegara. Kereta Parahyangan yang akan membawaku ke Bandung akan datang sejam lagi.

Sudah sebulan aku bekerja di Bandung. Di sebuah pabrik farmasi cukup terkenal di daerah Cimahi. tetapi aku tetap kost di jalan Imam Bonjol Bandung. Sudah empat tahun aku tinggal di situ.

Senin hingga jumat mobil kantor menjemputku ke pabrik dan mengantar kembali ke tempat kost. Terkadang hari sabtu aku harus hadir, untuk menjadi guide para tamu perusahaan yang tour di pabrik.

Bekerja di pabrik farmasi bukanlah tempat yang kuidamkan. Tetapi ini adalah perusahaan pertama yang menerimaku bekerja, setelah aku menyelesaikan pendidikan apoteker. Yah, apa salahnya kucoba. Kalau aku tidak segera mendapat pekerjaan di Bandung, sudah pasti keluargaku di Jakarta akan memanggilku pulang. Kembali ke keluarga dan tinggal di Jakarta adalah hal yang paling kuhindari.

Bapak punya peraturan khusus buatku setelah aku menginjak bangku SMA. Pulang sekolah harus segera pulang. Sore hari boleh ikut kegiatan ekstrakurikuler, tetapi harus tiba kembali di rumah sebelum pukul 6 sore. Tidak boleh datang acara ulangtahun teman yang diadakan pada malam hari. Dilarang pergi menginap dengan teman-teman untuk alasan apapun. Jika peraturan itu kulanggar, sudah pasti kemarahan bapak akan kuterima. Setelah itu dilanjutkan dengan nasehat ibu, yang meminta aku supaya mengikuti semua aturan, supaya kehidupan di rumah kami tentram.

Berat sebenarnya menjalankan semua aturan di rumah. Sebagai remaja ada keinginan kumpul-kumpul dengan teman-teman setelah pulang sekolah atau menghadiri acara ulangtahun teman pada malam hari. Tetapi aku tertalu takut menghadapi kemarahan bapak.

Lulus SMA, aku memilih Bandung untuk melanjutkan sekolah. Lebih tepat lagi untuk melarikan diri dari segala aturan rumah. Tetapi waktu seperti lari rasanya. Tidak terasa masa 7 tahun lewat sudah. Dan aku terancam untuk kembali ke rumah, jika tidak segera mendapat pekerjaan.

Segera kulayangkan beberapa surat lamaran ke berbagai perusahaan farmasi di Bandung. Untuk menyenangkan ibu, yang ingin aku kembali ke Jakarta, kulayangkan juga beberapa surat lamaran ke instansi pemerintah di Jakarta.

Aku sudah betah tinggal di Bandung. Aku berharap selanjutnya, setelah menyelesaikan sekolah, dapat kerjaan dan beranak pinak di Bandung. Bandung dengan pohon-pohon mahoni yang gundul ketika musim kemarau. Saat musim penghujan datang, daun dan bunga mahoni tampak rimbun. Bunga mahoni yang berwarna kuning terang akan gugur terguyur hujan, menguningkan jalan-jalan di sekitar tempat kostku.

Musim penghujan adalah saat-saat yang indah di Bandung. Jika aku berjalan di daerah jalan Singa Perbangsa sepulang dari kampusku di dago 4 menuju jalan Dipatiukur, akan tampak gunung tangkuban perahu di kejauhan. Pada saat itu, angin utara yang bertiup, membuatku harus merapatkan jaket.

Aku betah duduk berlama-lama di meja belajarku sambil memandang gerimis di balik jendela kamar kostku. Terasa indah dan menentramkan, tetapi juga penuh teka-teki hidup. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, hidup seperti apakah yang akan kujalani kelak?

Beberapa hari terakhir ini, aku sedang bergulat dengan pikiranku. Ada masalah di pabrik, yang harus segera kuselesaikan. Jika pikiran sudah begitu kalut. Segera aku pergi ke stasiun Bandung di jalan Kebon Kawung dan memandang gerbong-gerbong kereta api datang dan pergi. Namun kereta-kereta itu tidak mampu membantuku memutuskan apakah akan berhenti dari kantorku di Cimahi dan memenuhi panggilan sebuah instansi pemerintah di Jakarta.

“Anak ibu cuma dua. Ibu ingin kamu pulang”, kata ibu suatu hari ketika aku pulang. Aku hanya terdiam.

“Pindahlah kerja ke Jakarta”, lanjut ibu. Aku memang belum cerita pada ibu, kalau aku dapet panggilan dari sebuah lembaga penelitian milik pemerintah di Jakarta.

Kembali ke Jakarta, serasa seperti dipaksa masuk kedalam sumur yang dalam dan gelap. Tetapi untuk bertahan di kantorku yang sekarang juga terasa sangat berat. Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan yang dijalankan dengan management kekeluargaan. Ada satu masalah yang kemudian merembet kemana-mana. Sirup obat panas yang lupa diberi essence, telah lolos dari QC (Quality Control), dan nyaris lepas ke pasar. Dalam waktu yang bersamaan ternyata botol-botol essence di gudang lebih banyak jumlahnya daripada jumlah yang tertera di kartu stoknya. Kejadian ini memicu diceknya jumlah bahan-bahan mentah di gudang.

Ditemukan beberapa item bahan baku memiliki jumlah lebih banyak daripada jumlah yang tertera di kartu stok. Aku sebagai penanggung jawab gudang bahan bahan baku harus bisa menjelaskan ini.

“Siap kerja di sini?”, tanya mbak Sisi, penanggung jawab yang lama, menyambutku di hari pertamaku di pabrik.

Aku tersenyum mengangguk. “Sudah berapa lama disini, mbak?”, tanyaku.

“Dua tahun”, jawabnya. ‘Yuk, kita tour ke gudang”, ajaknya. Mbak sisi akan segera menduduki posisinya yang baru di bagian produksi.

Setelah diperkenalkan ke semua staf yang akan membantu pekerjaanku sehari-hari dan menerangkan semua hal yang diperlukan, mbak Sisi mengajakku beristirahat di landasan.

Landasan adalah tempat untuk makan seluruh staf pabrik. Disebut landasan karena ruang itu terletak di lantai paling atas dari bangunan pabrik, tidak berdinding, hanya diberi atap untuk pelindung dari hujan dan panas.

“Mungkin kamu perlu tahu, banyak yang tidak betah kerja di sini, terutama dibagian gudang bahan baku”, mbak Sisi menerangkan.

“Dari pertama saya di sini, banyak item bahan baku yang jumlahnya melebihi jumlah yang tertera di kartu stok”, lanjut mbak Sisi. “Tidak mudah memang mengurus ribuan item bahan baku. Sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini”.

“Kenapa tidak dilaporkan saja, kemudian dilakukan pembenahan”, tanyaku polos.

“Saya mohon sama kamu, jangan lakukan itu. Itu sama saja kamu mau menjatuhkan saya”, jawab mbak Sisi sambil memandangku. “Saya bisa dikeluarkan sebagai sangsinya. Cobalah untuk meneruskan apa yang sudah saya lakukan selama ini. Toh, saya bisa selamat, selama 2 tahun ini”.

Ketika masalah terjadi, aku baru empat bulan bekerja. Walaupun demikian aku sudah begitu dekat dengan para stafku yang berjumlah 11 orang. Terasa olehku mereka hormat dan segan padaku. Aku selalu melindungi mereka bila terjadi kesalahan. Menurutku, itulah salah satu gunanya aku menjabat sebagai kepala gudang bahan baku. Bertanggung jawab atas semua yang terjadi di unit ini.

“Ini semua bukan salah ibu, ibu datang keadaan sudah seperti ini”, kata seorang stafku.

“Kenapa ibu tidak ceritakan situasi yang sebenarnya?”, tanya stafku yang lain.

“Dari awal saya sudah melindungi mbak Sisi. Jadi berat buat saya untuk kemudian menyeretnya dalam kesulitan”, jawabku sedih.

Jujur saja, aku memang tidak terlalu suka bekerja di pabrik. Panggilan dari lembaga penelitian di Jakarta sebenarnya sangat menarik. Namun yang menjadi masalah besar adalah aku harus kembali ke Jakarta. Kembali ke rumah sudah bukan masalah buatku. Karena ternyata aku kurang suka kehidupan hura-hura. Menghabiskan waktu di kamar, sendiri sambil membaca buku atau menulis cerpen lebih mengasyikan daripada pergi ramai-ramai dengan teman ke tempat hiburan. Walaupun sekali-sekali mau juga di ajak pergi nonton ke Bandung Indah Plaza.

Jakarta tempatku dilahirkan dan tumbuh remaja. Buatku Jakarta bukanlah kota yang ideal untuk hidup. Kemana-mana jauh, macet dan panas. Aku lebih menyukai kehidupan kota kecil. Dimana bisa pergi kemana saja dengan mudah dan dekat dengan masyarakat sekitarnya. Tetapi saat ini aku tidak punya pilihan. Malam ini akhirnya kuputuskan, untuk keluar dari pabrik dan pulang ke Jakarta. Rasanya seperti akan terjebur ke dalam sumur yang dalam dan gelap.

Semalaman aku menangis. Mungkinkah aku akan kembali ke sini. Bandung, tempat hatiku kutinggalkan. Terbayang olehku senyum bahagia ibu, akhirnya aku pulang.

Keesokan harinya setelah mengurus segala sesuatu di pabrik, aku pamit ke semua teman di pabrik. Mbak Sisi memelukku mengucap terimakasih. Tiga orang stafku melepasku dengan tangis. Sore hari dengan bis aku pulang ke Jakarta. Tak bisa kutahan airmataku ketika terlihat lampu-lampu kota Jakarta. Sebentar lagi bis yang kutumpangi masuk terminal.

September, 1992

Tidak ada komentar: