14.12.07
ISTRI SIMPANAN
Sudah sekitar 3 bulan, aku kos di jalan Titimplik, Bandung. Rumah berlantai dua, dengan teras depan yang cukup nyaman, kutinggali bersama tiga orang temanku. Jalan depan rumah hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Teras rumah dipisahkan dari jalan oleh pagar setinggi dada orang dewasa. Teras tersebut lebih tinggi dari jalan, sehingga kami bisa mengamati dengan leluasa kegiatan orang-orang di gang.
Rumah kos mempunyai 4 kamar, 3 di bawah dan sebuah di atas. Kami berempat sama-sama tertarik pada pandangan pertama. Ketertarikan dari aspek yang berbeda. Tetapi ada satu aspek yang menyatukan selera yaitu harganya yang miring. Pemilik rumah memang menyewakan rumah dengan tujuan mencari perawat rumah, selama mereka tinggal di Belanda.
Walaupun terletak di daerah padat, karena rumah cukup besar, begitu masuk ke dalam, seperti terpisah dari lingkungan sekelilingnya. Rumah kosku memang kelihatan paling bagus dibandingkan rumah-rumah di sekelilingnya. Kami segera menghubungi saudara pemilik rumah untuk memberikan tanda jadi, setelah ada kesepakatan diantara kami, siapa menempati kamar yang mana.
Kori menempati paviliun dengan akses keluar masuk pribadi. Diantara kami, Kori memang yang paling banyak mempunyai acara. Dia aktivis kampus. Fira menempati kamar paling besar. Keluarganya di Jogja sering datang menengoknya, sehingga dengan kamar 3x5, keluarganya akan nyaman. Wida memilih kamar yang paling kecil 3x3, tetapi memiliki rak tempel yang tingginya sampai ke langit-langit. Wida tidak sulit lagi menyimpan perabotan masak memasaknya yang banyak.
Aku menempati kamar di lantai atas. Kamar dengan ukuran 3x4 itu memiliki jendela kaca besar yang menghadap utara, ke arah gunung Tangkuban Perahu. Jika siang hari, kamarku lebih panas dibandingkan kamar di lantai bawah, sedangkan malam hari lebih dingin. Untuk ke kamar mandi aku harus turun ke bawah. Tidak seorang pun yang bersedia menempati kamar di atas. Tetapi aku sangat cocok dengan kamar tersebut. Aku seperti bersembunyi di kamar ini.
Suara dari bawah tidak begitu terdengar, sehingga jika malam minggu, tidak terusik obrolan Wida dengan pacarnya yang biasanya sampai jauh malam. Atau Kori dan teman-temannya yang sering menjadikan teras rumah sebagai titik pertemuan. Paling tidak aku diuntungkan dengan tidak sering membukakan pintu untuk tamu-tamu. Selain itu, aku membayar lebih murah dari seharusnya, menurut mereka karena ketidaknyamanan kamar. Tapi menurutku ini harga spesial untuk kamar yang spesial.
Tetangga kanan, kiri dan depan rumah kos adalah rumah tangga. Sebelah kanan tinggal sepasang suami istri tanpa anak. Kepala keluarga seorang salesman, sering bepergian keluar kota. Istrinya, mbak Isti, setiap pagi tidak pernah absen merubung gerobak bang Modo, tukang sayur langganan ibu-ibu di gang. Sebelah kiri, keluarga dengan 5 orang anak perempuan yang umurnya hanya beda 1-2 tahun. Si ibu, kami panggil bu Aas, sering kali berteriak untuk memisahkan anak-anak yang berkelahi karena rebutan makanan. Terkadang terdengar bu Aas ribut mulut dengan suaminya. Suami bu Aas bekerja sebagai satpam di mall. Sedangkan tetangga depan, seorang wanita berusia sekitar tigapuluhan yang disapa Lilis oleh para ibu, sedangkan aku dan teman-teman memanggilnya ceceu. Ceceu hidup sendiri, hampir tidak pernah keluar rumah, kadang-kadang saja dia membeli sayur di bang Modo.
Wida sering membawa celoteh para ibu kepada kami berempat. Wida memang yang paling banyak berinteraksi dengan mereka. Bila hari libur Wida senang mencoba-coba resep masakan bersama mereka. Sambil memasak, apalagi yang enak untuk dibicarakan, kalau bukan ceceu. Kori tidak peduli dengan lingkungan rumah kos, dia lebih suka berkumpul dengan teman-temannya di himpuna mahasiswa fakultasnya. Fira hanya menjadikan cerita Wida sebagai guyonan saja. Sedangkan aku tidak banyak komentar, hanya sebagai pendengar yang baik.
Pagi-pagi para ibu senang sekali membincangkan ceceu, seraya memilih sayuran di bang Modo, terutama jika ada sepeda motor parkir di depan rumahnya. Jika ceceu datang untuk membeli sayur, mereka segera mengganti topik pembicaraan. Padahal di gang yang lebarnya tidak lebih dari satu meter itu, celoteh mereka terdengar jelas dari dalam rumah. Bisa jadi ibu-ibu itu sengaja supaya suaranya terdengar.
Setiap berpapasan, saat aku berangkat atau pulang kuliah, ceceu selalu menyapa. Rambutnya berombak lewat bahu. Kulitnya putih bersih dan tingginya sedang. Tipikal sosok perempuan sunda. Suatu sore ketika aku duduk sendiri di teras, ceceu keluar dan berkenan menemaniku sebentar.
“Kumaha kuliahnya neng Tari?”
“Biasa aja, mbak”, kupandang ceceu yang sore itu mengenakan celana pendek selutut warna putih dan kaos warna merah anggur. Nampak segar.
“Neng asalna timana?”
“Jakarta, ceu”
Setelah berbasa basi sebentar, ceceu masuk kembali ke rumahnya.
Sebelumnya aku tidak peduli. Namun karena seringnya mendengar para ibu membicarakan, aku jadi suka melirik rumah ceceu setiap keluar masuk rumah kos. Terkadang aku melihat sepeda motor parkir di depan rumah ceceu. Siapa dan seperti apa pemilik sepeda motor, aku tidak pernah tahu. Selama tinggal di rumah ceceu pun pemilik sepeda motor tidak pernah keluar. Motor yang parkir selalu motor yang sama, menunjukan orang yang datang adalah orang yang sama. Pemilik sepeda motor rutin datang jumat malam dan pergi senin dini hari.
Kabarnya ceceu istri simpanan atau bisa jadi hanya kekasih gelap. Kata-kata sinis ibu-ibu di gang hanya ditujukan kepada ceceu. Mereka tidak pernah membicarakan pacarnya atau suaminya itu. Tetapi nampaknya ceceu tidak peduli.
Dalam keseharian pun aku tidak tahu apa yang dikerjakan ceceu. Darimana dia memperoleh uang untuk makan dan membiayai hidupnya. Setahuku ceceu jarang sekali keluar rumah. Aku pulang kuliah siang, ceceu ada di rumah. Kutahu dari suara radio atau tv lamat-lamat dari rumahnya. Aku pulang sore pun dia ada di rumah. Seperti halnya aku, ceceu hanya pendatang di gang itu.
Walaupun ibu-ibu sekitar sering membicarakan, tak pernah aku melihat ceceu berubah sikap, tetap tersenyum dan menyapa setiap bertemu orang yang dikenalnya di gang ini. Sepertinya ceceu tidak mau berinteraksi terlalu dekat dengan tetangga. Meski hidup sendiri, belum pernah ceceu mengetuk pintu tetangga untuk minta tolong. Berbeda dengan mbak Isti dan bu Aas. Mbak Isti sering minta garam atau kekurangan bumbu lainnya ke Wida. Mbak Isti juga sering titip Wida minta dibelikan sesuatu di supermarket.
Sedangkan bu Aas sering minta tolong aku menjaga anak-anaknya jika ada keperluan untuk keluar rumah pada sore hari. Anak tertuanya berusia 8 tahun lebih, kemudian masing-masing 7, 5 , 3 dan 1 tahun. Terkadang bu Aas sengaja menungguku pulang kuliah, dan segera memberitahu kalau dia akan keluar rumah sebentar. Setelah berganti baju, aku segera ke rumah bu Aas. Anak-anak itu senang kalau aku datang. Jika melihat aku, anak yang terkecil akan mengangkat kedua tangannya minta digendong.
Rasanya memang menyenangkan diantara mereka. Mata-mata yang bulat dan bening akan memandang takjub saat aku bercerita. Mereka tidak bisa duduk dengan tegak, selalu menggelendot ke tubuhku. Sehingga aku harus selonjorkan kaki, supaya setiap anak dapat tempat untuk menyandarkan tubuhnya. Anak yang terkecil menjadi tumpahan kekesalan kakak-kakaknya karena mendapat tempat yang paling enak, di pangkuanku. Sedangkan yang lain hanya dapat kaki kiri, kaki kanan, bahu kiri dan bahu kanan. Jika ibu mereka pulang, anak-anak itu akan merengek, namun aku tidak pernah mengijinkan mereka main ke kamarku. Aku tidak mau mahluk-mahluk lucu itu mengobrak-abrik kamarku yang nyaman.
Suatu malam aku terbangun, lamat-lamat kudengar suara orang mengetuk pintu dan memanggil-manggil namaku. Seperti suara ibu Aas, ada nada panik dalam suaranya. Aku segera turun menemuinya. Wida sudah membukakan pintu dan sedang bicara dengannya. Begitu melihatku, segera digenggamnya tanganku.
“Neng Tari, Euis panas sekali, bapaknya sedang tugas malam”, wajah bu Aas cemas. Anaknya yang nomor empat sakit. Aku dan bu Aas segera menuju rumah bu Aas. Wida kembali ke kamarnya.
Kulihat Euis tidur dengan gelisah. Empat anak yang lain tidur berjejer di kanan kiri Euis, seperti pindang. Kupegang dahinya. Panas sekali. Segera kusingkirkan selimut dan melepas baju hangat yang dikenakannya. Aku minta bu Aas menyiapkan air dingin di baskom dan handuk kecil untuk kompres. Bu Aas tidak sedia alkohol atau obat penurun panas di rumahnya, juga tidak punya termometer.
Jantungku serasa mau copot ketika sepintas aku melihat Euis seperti terkejut dalam tidurnya. Aku minta bu Aas menyiapkan juga sendok yang dibungkus dengan saputangan. Aku khawatir Euis kejang karena panas yang tinggi. Sendok akan mencegah tergigitnya lidah andai tiba-tiba Euis kejang.
“Euis bawa ke klinik 24 jam saja, saya takut tiba-tiba dia kejang, panasnya tinggi sekali”, saranku pada bu Aas.
Bu Aas hanya memandangku. Nampaknya dia bingung. Aku juga tidak mengerti, apa yang dibingungkan bu Aas.
“Ibu tidak punya uang, neng”
Aku tertegun. Tadi siang aku terpaksa pinjam uang Fira untuk makan. Itu biasa aku lakukan di saat kirimanku belum datang. Setelah mengajarkan cara mengompres, kuminta bu Aas untuk segera mengompres. Aku kembali ke rumah kos. Aku tahu Wida atau Fira masih punya cukup uang untuk dipinjam. Kulihat motor parkir di depan rumah ceceu. Entah kenapa aku memutuskan untuk mengetuk rumah ceceu. Selain bisa pinjam uang, mudah2an suaminya mau mengantarkan ke klinik 24 jam.
“Punten....Ceceu....Ceceu.....”, kupanggil ceceu sambil mengetuk pintu.
Tidak lama pintu dibuka. Kepala ceceu menyembul dari balik pintu, rambutnya acak-acakan, tangannya menggenggam erat daster pada bagian dada.
“Punten, ceu. Euis panas sekali, saya takut dia kejang. Mau minta tolong antar ke klinik 24 jam, juga mau pinjam uang. Bu Aas sedang tidak punya uang”, ada rasa khawatir ceceu menolak. Tapi ceceu menyuruhku untuk menunggu. Aku mendengar dia berbicara dengan suaminya. Tidak lama kemudian ceceu dan suaminya keluar. Aku, ceceu dan suaminya segera ke rumah bu Aas. Inilah pertama kali aku melihat suami ceceu.
Bu Aas terkejut melihat kedatanganku diiringi ceceu dan suaminya. Aku jelaskan pada bu Aas, bahwa aku yang akan membawa Euis ke klinik diantar suami ceceu. Aku tidak menunggu kata setuju dari bu Aas. Segere kubungkus Euis dengan selimut dan menggendongnya. Badan Euis terasa panas di lenganku. Bibir dan pipi anak itu merah sekali. Euis membuka matanya sebentar, kemudian terpejam lagi setelah kuhibur dan kucium dahinya. Suami ceceu memboncengkan aku dengan motornya ke klinik di jalan Titiran.
Sepulang dari klinik, ceceu masih menunggu di rumah bu Aas. Kuletakan dengan hati-hati Euis di tempat tidurnya. Perempuan kecil itu pintar sekali. Sama sekali tidak menangis selama diperiksa dokter di klinik. Pun ketika dokter memasukan obat dari duburnya. Setelah itu tidurnya lelap sekali. Semua biaya klinik dan obat dibayar oleh suami ceceu. Selama di klinik dia sempat menanyakan namaku dan keheranannya karena aku terlihat terampil mengurus Euis.
“Saya Tari, mas. Saya mahasiswa di jurusan farmasi. Saya dekat dengan semua anak-anak bu Aas, karena sering menunggui mereka kalau bu Aas ada keperluan keluar”.
Setelah kejadian malam itu, situasi di gang titimplik berjalan sebagaimana biasa. Suami ceceu tetap rutin datang dan bermalam. Dan tetap tidak pernah keluar rumah selama tinggal di rumah ceceu. Ceceu juga jarang keluar rumah kecuali sekali-sekali untuk membeli sayur. Para ibu masih tetap membicarakan ceceu, tetapi bu Aas nampaknya mulai menarik diri, tidak lagi berceloteh tentang ceceu.
Suatu hari, pompa di rumah kos rusak sehingga tidak punya air untuk mandi dan mencuci. Sore hari aku dan Fira mengetuk rumah ceceu untuk numpang mandi dan cuci. Ceceu dengan ramah mempersilahkan aku dan Fira. Saat itu suaminya sedang ada di rumah. Aku mengangguk padanya dan permisi untuk menumpang mandi dan cuci.
“Mbak, itu siapanya ceceu?”, tanya Fira berbisik. Itu pertama kali Fira bertemu pemilik sepeda motor. Aku menjawabnya dengan sikutan supaya diam. Selesai mandi dan cuci, aku dan Fira kembali ke rumah kos.
“Itu pacarnya ceceu ya?”, Fira masih penasaran rupanya.
“Aku tidak tahu, yang kutahu ceceu orang baik. Kenapa ibu-ibu tetangga tidak bisa menilai generiknya ceceu. Ceceu tentu punya alasan kenapa memilih jalan hidupnya”.
Kemudian selama beberapa minggu aku tidak melihat motor parkir di depan rumah ceceu. Bahkan sebulan setelahnya, motor itu tidak datang. Rasanya lama sekali tidak melihat ceceu membeli sayur di bang Modo. Sungguh aku tidak mau mencampuri urusan orang. Tetapi sore ini seperti ada yang menuntunku untuk mengetuk pintu rumah ceceu.
Ceceu membukakan pintu. Aku tertegun memandang ceceu. Ia terlihat kurus dan wajahnya yang biasa segar terlihat layu. Ceceu seperti sedang ditimpa kemalangan yang berat. Aku ditariknya masuk dan segera di tutupnya pintu. Ceceu menangis sejadi-jadinya di pangkuanku. Aku hanya diam, bingung hendak berbuat apa. Setelah puas menangis, ceceu pun mulai bercerita. Ini lah pertama kali aku tahu siapa ceceu, asalnya dan siapa laki-laki yang sering datang ke rumahnya.
Ceceu lahir dan dibesarkan di Ciamis. Kemudian melanjutkan SMU dan bekerja di Bandung. Bertemu dengan Dadang, yang kemudian menjadi suaminya, di Bandung. Orang tua Dadang tidak setuju dengan hubungan mereka karena beberapa alasan. Ceceu dan Dadang kemudian menikah diam-diam di Ciamis dengan hanya disaksikan keluarga ceceu. Selanjutnya mereka menjalankan kehidupan rumah tangga dengan diam-diam di Bandung.
Dadang adalah anak tunggal, ia tidak punya keberanian untuk membuka perkawinannya. Ibunya mengancam akan bunuh diri, ketika Dadang mengutarakan maksud akan menikah dengan ceceu. Laki-laki itu adalah anak yang penurut semenjak kecil. Namun kali ini dilanggarnya kata-kata orang tua. Dadang berharap suatu saat nanti, jika hadir anak-anak dari perkawinan rahasia ini, orang tuanya akan luluh. Dadang minta ceceu tidak bekerja, dengan harapan akan cepat hadir anak-anak.
Selanjutnya Dadang tetap tinggal di rumah orang tuanya. Dengan alasan tugas kantor, dadang tinggal di rumah kontrakan bersama istrinya hari jumat hingga senin. Namun rumah tangga diam-diam itu hanya berlangsung kurang lebih setahun. Sebulan yang lalu Dadang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Ceceu tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk datang melayat suaminya, dia berpikir seribu kali. Kedatangannya akan membuat keluarga Dadang terluka. Bisa jadi dia akan terlalu emosional, sehingga terjadi kehebohan, karena itu ceceu memilih untuk menangis dan menanggung sendiri kesedihannya di rumah kontrakan.
Pada kunjungan yang terakhir, Dadang seperti memberikan pesan terakhirnya. Dadang meminta maaf karena hanya kehidupan seperti itu yang bisa diberikan kepada istrinya. Dadang merasa bersalah karena tidak memiliki keberanian dan kemampuan untuk memperjuangkan rumah tangganya. Saat itu Dadang bersikap tidak seperti biasanya. Dadang tampak sangat menyesal telah membawa ceceu pada kesulitan. Dadang minta supaya ceceu tabah menjalani kehidupan. Setelah itu, Dadang tidak pernah muncul lagi menjenguk istrinya.
Sesaat aku berpikir, jangan-jangan kematian Dadang hanya rekayasa keluarganya, setelah terbongkar rumah tangga rahasianya.
“Tidak, neng. Seorang teman baik yang menjadi saksi ketika kami menikah memberitahu ceceu.
Ceceu tidak tahu harus pergi kemana. Pulang ke Ciamis pun hanya akan membebankan keluarga di sana. Emak dan bapak sudah tidak ada. Sementara tabungan ceceu sudah semakin tipis, untuk makan setiap hari”
Aku termangu. Apa yang bisa kuperbuat untuk ceceu? Terlintas pikiran mengirim ceceu ke rumahku di Jakarta. Ibuku punya warung nasi di sebelah rumah kami tinggal. Warung Ibu lumayan besar dan ramai. Ibu memiliki 2 orang pekerja dan semuanya tinggal di rumah kami. Kucoba menenangkan ceceu dan kukatakan aku punya rencana untuknya. Tetapi belum bisa kukatakan sekarang.
Sepulang dari rumah ceceu, kutelepon ibuku di Jakarta dan membujuknya untuk menerima ceceu bekerja di warung. Tidak kusangka ibuku mau menerimanya. Ketika kusampaikan kabar ini, ceceu menangis sambil tertawa di pelukanku. Aku tahu dia ingin mengucapkan terimakasih dengan caranya. Tanpa berpikir dua kali ceceu menerima tawaranku.
Beberapa hari kemudian, kuantar ceceu ke Jakarta untuk bekerja di warung ibuku.
Bandung, 1992
KEMBALI KE JAKARTA
Perlahan aku duduk di kursi kosong di depan ibu. Wanita setengah baya yang sedang duduk sendiri di teras belakang rumah. Ibu tampak gundah. Wajahnya menatap kosong ke pohon rambutan di halaman belakang.
”Bu, aku sudah memutuskan. Aku akan tetap bekerja di Bandung”, kataku hati-hati. Kutunggu reaksi ibu. Tetapi beliau diam saja. ”Aku berangkat sekarang, bu”, pamitku.
Akhirnya Ibu melihat kearahku, tersenyum dan mengangguk. ”Hati-hati di jalan”, kata ibu. Kulihat rasa ikhlas terpancar di wajahnya. Aku segera berangkat menuju stasiun jatinegara. Kereta Parahyangan yang akan membawaku ke Bandung akan datang sejam lagi.
Sudah sebulan aku bekerja di Bandung. Di sebuah pabrik farmasi cukup terkenal di daerah Cimahi. tetapi aku tetap kost di jalan Imam Bonjol Bandung. Sudah empat tahun aku tinggal di situ.
Senin hingga jumat mobil kantor menjemputku ke pabrik dan mengantar kembali ke tempat kost. Terkadang hari sabtu aku harus hadir, untuk menjadi guide para tamu perusahaan yang tour di pabrik.
Bekerja di pabrik farmasi bukanlah tempat yang kuidamkan. Tetapi ini adalah perusahaan pertama yang menerimaku bekerja, setelah aku menyelesaikan pendidikan apoteker. Yah, apa salahnya kucoba. Kalau aku tidak segera mendapat pekerjaan di Bandung, sudah pasti keluargaku di Jakarta akan memanggilku pulang. Kembali ke keluarga dan tinggal di Jakarta adalah hal yang paling kuhindari.
Bapak punya peraturan khusus buatku setelah aku menginjak bangku SMA. Pulang sekolah harus segera pulang. Sore hari boleh ikut kegiatan ekstrakurikuler, tetapi harus tiba kembali di rumah sebelum pukul 6 sore. Tidak boleh datang acara ulangtahun teman yang diadakan pada malam hari. Dilarang pergi menginap dengan teman-teman untuk alasan apapun. Jika peraturan itu kulanggar, sudah pasti kemarahan bapak akan kuterima. Setelah itu dilanjutkan dengan nasehat ibu, yang meminta aku supaya mengikuti semua aturan, supaya kehidupan di rumah kami tentram.
Berat sebenarnya menjalankan semua aturan di rumah. Sebagai remaja ada keinginan kumpul-kumpul dengan teman-teman setelah pulang sekolah atau menghadiri acara ulangtahun teman pada malam hari. Tetapi aku tertalu takut menghadapi kemarahan bapak.
Lulus SMA, aku memilih Bandung untuk melanjutkan sekolah. Lebih tepat lagi untuk melarikan diri dari segala aturan rumah. Tetapi waktu seperti lari rasanya. Tidak terasa masa 7 tahun lewat sudah. Dan aku terancam untuk kembali ke rumah, jika tidak segera mendapat pekerjaan.
Segera kulayangkan beberapa surat lamaran ke berbagai perusahaan farmasi di Bandung. Untuk menyenangkan ibu, yang ingin aku kembali ke Jakarta, kulayangkan juga beberapa surat lamaran ke instansi pemerintah di Jakarta.
Aku sudah betah tinggal di Bandung. Aku berharap selanjutnya, setelah menyelesaikan sekolah, dapat kerjaan dan beranak pinak di Bandung. Bandung dengan pohon-pohon mahoni yang gundul ketika musim kemarau. Saat musim penghujan datang, daun dan bunga mahoni tampak rimbun. Bunga mahoni yang berwarna kuning terang akan gugur terguyur hujan, menguningkan jalan-jalan di sekitar tempat kostku.
Musim penghujan adalah saat-saat yang indah di Bandung. Jika aku berjalan di daerah jalan Singa Perbangsa sepulang dari kampusku di dago 4 menuju jalan Dipatiukur, akan tampak gunung tangkuban perahu di kejauhan. Pada saat itu, angin utara yang bertiup, membuatku harus merapatkan jaket.
Aku betah duduk berlama-lama di meja belajarku sambil memandang gerimis di balik jendela kamar kostku. Terasa indah dan menentramkan, tetapi juga penuh teka-teki hidup. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, hidup seperti apakah yang akan kujalani kelak?
Beberapa hari terakhir ini, aku sedang bergulat dengan pikiranku. Ada masalah di pabrik, yang harus segera kuselesaikan. Jika pikiran sudah begitu kalut. Segera aku pergi ke stasiun Bandung di jalan Kebon Kawung dan memandang gerbong-gerbong kereta api datang dan pergi. Namun kereta-kereta itu tidak mampu membantuku memutuskan apakah akan berhenti dari kantorku di Cimahi dan memenuhi panggilan sebuah instansi pemerintah di Jakarta.
“Anak ibu cuma dua. Ibu ingin kamu pulang”, kata ibu suatu hari ketika aku pulang. Aku hanya terdiam.
“Pindahlah kerja ke Jakarta”, lanjut ibu. Aku memang belum cerita pada ibu, kalau aku dapet panggilan dari sebuah lembaga penelitian milik pemerintah di Jakarta.
Kembali ke Jakarta, serasa seperti dipaksa masuk kedalam sumur yang dalam dan gelap. Tetapi untuk bertahan di kantorku yang sekarang juga terasa sangat berat. Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan yang dijalankan dengan management kekeluargaan. Ada satu masalah yang kemudian merembet kemana-mana. Sirup obat panas yang lupa diberi essence, telah lolos dari QC (Quality Control), dan nyaris lepas ke pasar. Dalam waktu yang bersamaan ternyata botol-botol essence di gudang lebih banyak jumlahnya daripada jumlah yang tertera di kartu stoknya. Kejadian ini memicu diceknya jumlah bahan-bahan mentah di gudang.
Ditemukan beberapa item bahan baku memiliki jumlah lebih banyak daripada jumlah yang tertera di kartu stok. Aku sebagai penanggung jawab gudang bahan bahan baku harus bisa menjelaskan ini.
“Siap kerja di sini?”, tanya mbak Sisi, penanggung jawab yang lama, menyambutku di hari pertamaku di pabrik.
Aku tersenyum mengangguk. “Sudah berapa lama disini, mbak?”, tanyaku.
“Dua tahun”, jawabnya. ‘Yuk, kita tour ke gudang”, ajaknya. Mbak sisi akan segera menduduki posisinya yang baru di bagian produksi.
Setelah diperkenalkan ke semua staf yang akan membantu pekerjaanku sehari-hari dan menerangkan semua hal yang diperlukan, mbak Sisi mengajakku beristirahat di landasan.
Landasan adalah tempat untuk makan seluruh staf pabrik. Disebut landasan karena ruang itu terletak di lantai paling atas dari bangunan pabrik, tidak berdinding, hanya diberi atap untuk pelindung dari hujan dan panas.
“Mungkin kamu perlu tahu, banyak yang tidak betah kerja di sini, terutama dibagian gudang bahan baku”, mbak Sisi menerangkan.
“Dari pertama saya di sini, banyak item bahan baku yang jumlahnya melebihi jumlah yang tertera di kartu stok”, lanjut mbak Sisi. “Tidak mudah memang mengurus ribuan item bahan baku. Sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini”.
“Kenapa tidak dilaporkan saja, kemudian dilakukan pembenahan”, tanyaku polos.
“Saya mohon sama kamu, jangan lakukan itu. Itu sama saja kamu mau menjatuhkan saya”, jawab mbak Sisi sambil memandangku. “Saya bisa dikeluarkan sebagai sangsinya. Cobalah untuk meneruskan apa yang sudah saya lakukan selama ini. Toh, saya bisa selamat, selama 2 tahun ini”.
Ketika masalah terjadi, aku baru empat bulan bekerja. Walaupun demikian aku sudah begitu dekat dengan para stafku yang berjumlah 11 orang. Terasa olehku mereka hormat dan segan padaku. Aku selalu melindungi mereka bila terjadi kesalahan. Menurutku, itulah salah satu gunanya aku menjabat sebagai kepala gudang bahan baku. Bertanggung jawab atas semua yang terjadi di unit ini.
“Ini semua bukan salah ibu, ibu datang keadaan sudah seperti ini”, kata seorang stafku.
“Kenapa ibu tidak ceritakan situasi yang sebenarnya?”, tanya stafku yang lain.
“Dari awal saya sudah melindungi mbak Sisi. Jadi berat buat saya untuk kemudian menyeretnya dalam kesulitan”, jawabku sedih.
Jujur saja, aku memang tidak terlalu suka bekerja di pabrik. Panggilan dari lembaga penelitian di Jakarta sebenarnya sangat menarik. Namun yang menjadi masalah besar adalah aku harus kembali ke Jakarta. Kembali ke rumah sudah bukan masalah buatku. Karena ternyata aku kurang suka kehidupan hura-hura. Menghabiskan waktu di kamar, sendiri sambil membaca buku atau menulis cerpen lebih mengasyikan daripada pergi ramai-ramai dengan teman ke tempat hiburan. Walaupun sekali-sekali mau juga di ajak pergi nonton ke Bandung Indah Plaza.
Jakarta tempatku dilahirkan dan tumbuh remaja. Buatku Jakarta bukanlah kota yang ideal untuk hidup. Kemana-mana jauh, macet dan panas. Aku lebih menyukai kehidupan kota kecil. Dimana bisa pergi kemana saja dengan mudah dan dekat dengan masyarakat sekitarnya. Tetapi saat ini aku tidak punya pilihan. Malam ini akhirnya kuputuskan, untuk keluar dari pabrik dan pulang ke Jakarta. Rasanya seperti akan terjebur ke dalam sumur yang dalam dan gelap.
Semalaman aku menangis. Mungkinkah aku akan kembali ke sini. Bandung, tempat hatiku kutinggalkan. Terbayang olehku senyum bahagia ibu, akhirnya aku pulang.
Keesokan harinya setelah mengurus segala sesuatu di pabrik, aku pamit ke semua teman di pabrik. Mbak Sisi memelukku mengucap terimakasih. Tiga orang stafku melepasku dengan tangis. Sore hari dengan bis aku pulang ke Jakarta. Tak bisa kutahan airmataku ketika terlihat lampu-lampu kota Jakarta. Sebentar lagi bis yang kutumpangi masuk terminal.
September, 1992
”Bu, aku sudah memutuskan. Aku akan tetap bekerja di Bandung”, kataku hati-hati. Kutunggu reaksi ibu. Tetapi beliau diam saja. ”Aku berangkat sekarang, bu”, pamitku.
Akhirnya Ibu melihat kearahku, tersenyum dan mengangguk. ”Hati-hati di jalan”, kata ibu. Kulihat rasa ikhlas terpancar di wajahnya. Aku segera berangkat menuju stasiun jatinegara. Kereta Parahyangan yang akan membawaku ke Bandung akan datang sejam lagi.
Sudah sebulan aku bekerja di Bandung. Di sebuah pabrik farmasi cukup terkenal di daerah Cimahi. tetapi aku tetap kost di jalan Imam Bonjol Bandung. Sudah empat tahun aku tinggal di situ.
Senin hingga jumat mobil kantor menjemputku ke pabrik dan mengantar kembali ke tempat kost. Terkadang hari sabtu aku harus hadir, untuk menjadi guide para tamu perusahaan yang tour di pabrik.
Bekerja di pabrik farmasi bukanlah tempat yang kuidamkan. Tetapi ini adalah perusahaan pertama yang menerimaku bekerja, setelah aku menyelesaikan pendidikan apoteker. Yah, apa salahnya kucoba. Kalau aku tidak segera mendapat pekerjaan di Bandung, sudah pasti keluargaku di Jakarta akan memanggilku pulang. Kembali ke keluarga dan tinggal di Jakarta adalah hal yang paling kuhindari.
Bapak punya peraturan khusus buatku setelah aku menginjak bangku SMA. Pulang sekolah harus segera pulang. Sore hari boleh ikut kegiatan ekstrakurikuler, tetapi harus tiba kembali di rumah sebelum pukul 6 sore. Tidak boleh datang acara ulangtahun teman yang diadakan pada malam hari. Dilarang pergi menginap dengan teman-teman untuk alasan apapun. Jika peraturan itu kulanggar, sudah pasti kemarahan bapak akan kuterima. Setelah itu dilanjutkan dengan nasehat ibu, yang meminta aku supaya mengikuti semua aturan, supaya kehidupan di rumah kami tentram.
Berat sebenarnya menjalankan semua aturan di rumah. Sebagai remaja ada keinginan kumpul-kumpul dengan teman-teman setelah pulang sekolah atau menghadiri acara ulangtahun teman pada malam hari. Tetapi aku tertalu takut menghadapi kemarahan bapak.
Lulus SMA, aku memilih Bandung untuk melanjutkan sekolah. Lebih tepat lagi untuk melarikan diri dari segala aturan rumah. Tetapi waktu seperti lari rasanya. Tidak terasa masa 7 tahun lewat sudah. Dan aku terancam untuk kembali ke rumah, jika tidak segera mendapat pekerjaan.
Segera kulayangkan beberapa surat lamaran ke berbagai perusahaan farmasi di Bandung. Untuk menyenangkan ibu, yang ingin aku kembali ke Jakarta, kulayangkan juga beberapa surat lamaran ke instansi pemerintah di Jakarta.
Aku sudah betah tinggal di Bandung. Aku berharap selanjutnya, setelah menyelesaikan sekolah, dapat kerjaan dan beranak pinak di Bandung. Bandung dengan pohon-pohon mahoni yang gundul ketika musim kemarau. Saat musim penghujan datang, daun dan bunga mahoni tampak rimbun. Bunga mahoni yang berwarna kuning terang akan gugur terguyur hujan, menguningkan jalan-jalan di sekitar tempat kostku.
Musim penghujan adalah saat-saat yang indah di Bandung. Jika aku berjalan di daerah jalan Singa Perbangsa sepulang dari kampusku di dago 4 menuju jalan Dipatiukur, akan tampak gunung tangkuban perahu di kejauhan. Pada saat itu, angin utara yang bertiup, membuatku harus merapatkan jaket.
Aku betah duduk berlama-lama di meja belajarku sambil memandang gerimis di balik jendela kamar kostku. Terasa indah dan menentramkan, tetapi juga penuh teka-teki hidup. Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, hidup seperti apakah yang akan kujalani kelak?
Beberapa hari terakhir ini, aku sedang bergulat dengan pikiranku. Ada masalah di pabrik, yang harus segera kuselesaikan. Jika pikiran sudah begitu kalut. Segera aku pergi ke stasiun Bandung di jalan Kebon Kawung dan memandang gerbong-gerbong kereta api datang dan pergi. Namun kereta-kereta itu tidak mampu membantuku memutuskan apakah akan berhenti dari kantorku di Cimahi dan memenuhi panggilan sebuah instansi pemerintah di Jakarta.
“Anak ibu cuma dua. Ibu ingin kamu pulang”, kata ibu suatu hari ketika aku pulang. Aku hanya terdiam.
“Pindahlah kerja ke Jakarta”, lanjut ibu. Aku memang belum cerita pada ibu, kalau aku dapet panggilan dari sebuah lembaga penelitian milik pemerintah di Jakarta.
Kembali ke Jakarta, serasa seperti dipaksa masuk kedalam sumur yang dalam dan gelap. Tetapi untuk bertahan di kantorku yang sekarang juga terasa sangat berat. Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan yang dijalankan dengan management kekeluargaan. Ada satu masalah yang kemudian merembet kemana-mana. Sirup obat panas yang lupa diberi essence, telah lolos dari QC (Quality Control), dan nyaris lepas ke pasar. Dalam waktu yang bersamaan ternyata botol-botol essence di gudang lebih banyak jumlahnya daripada jumlah yang tertera di kartu stoknya. Kejadian ini memicu diceknya jumlah bahan-bahan mentah di gudang.
Ditemukan beberapa item bahan baku memiliki jumlah lebih banyak daripada jumlah yang tertera di kartu stok. Aku sebagai penanggung jawab gudang bahan bahan baku harus bisa menjelaskan ini.
“Siap kerja di sini?”, tanya mbak Sisi, penanggung jawab yang lama, menyambutku di hari pertamaku di pabrik.
Aku tersenyum mengangguk. “Sudah berapa lama disini, mbak?”, tanyaku.
“Dua tahun”, jawabnya. ‘Yuk, kita tour ke gudang”, ajaknya. Mbak sisi akan segera menduduki posisinya yang baru di bagian produksi.
Setelah diperkenalkan ke semua staf yang akan membantu pekerjaanku sehari-hari dan menerangkan semua hal yang diperlukan, mbak Sisi mengajakku beristirahat di landasan.
Landasan adalah tempat untuk makan seluruh staf pabrik. Disebut landasan karena ruang itu terletak di lantai paling atas dari bangunan pabrik, tidak berdinding, hanya diberi atap untuk pelindung dari hujan dan panas.
“Mungkin kamu perlu tahu, banyak yang tidak betah kerja di sini, terutama dibagian gudang bahan baku”, mbak Sisi menerangkan.
“Dari pertama saya di sini, banyak item bahan baku yang jumlahnya melebihi jumlah yang tertera di kartu stok”, lanjut mbak Sisi. “Tidak mudah memang mengurus ribuan item bahan baku. Sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini”.
“Kenapa tidak dilaporkan saja, kemudian dilakukan pembenahan”, tanyaku polos.
“Saya mohon sama kamu, jangan lakukan itu. Itu sama saja kamu mau menjatuhkan saya”, jawab mbak Sisi sambil memandangku. “Saya bisa dikeluarkan sebagai sangsinya. Cobalah untuk meneruskan apa yang sudah saya lakukan selama ini. Toh, saya bisa selamat, selama 2 tahun ini”.
Ketika masalah terjadi, aku baru empat bulan bekerja. Walaupun demikian aku sudah begitu dekat dengan para stafku yang berjumlah 11 orang. Terasa olehku mereka hormat dan segan padaku. Aku selalu melindungi mereka bila terjadi kesalahan. Menurutku, itulah salah satu gunanya aku menjabat sebagai kepala gudang bahan baku. Bertanggung jawab atas semua yang terjadi di unit ini.
“Ini semua bukan salah ibu, ibu datang keadaan sudah seperti ini”, kata seorang stafku.
“Kenapa ibu tidak ceritakan situasi yang sebenarnya?”, tanya stafku yang lain.
“Dari awal saya sudah melindungi mbak Sisi. Jadi berat buat saya untuk kemudian menyeretnya dalam kesulitan”, jawabku sedih.
Jujur saja, aku memang tidak terlalu suka bekerja di pabrik. Panggilan dari lembaga penelitian di Jakarta sebenarnya sangat menarik. Namun yang menjadi masalah besar adalah aku harus kembali ke Jakarta. Kembali ke rumah sudah bukan masalah buatku. Karena ternyata aku kurang suka kehidupan hura-hura. Menghabiskan waktu di kamar, sendiri sambil membaca buku atau menulis cerpen lebih mengasyikan daripada pergi ramai-ramai dengan teman ke tempat hiburan. Walaupun sekali-sekali mau juga di ajak pergi nonton ke Bandung Indah Plaza.
Jakarta tempatku dilahirkan dan tumbuh remaja. Buatku Jakarta bukanlah kota yang ideal untuk hidup. Kemana-mana jauh, macet dan panas. Aku lebih menyukai kehidupan kota kecil. Dimana bisa pergi kemana saja dengan mudah dan dekat dengan masyarakat sekitarnya. Tetapi saat ini aku tidak punya pilihan. Malam ini akhirnya kuputuskan, untuk keluar dari pabrik dan pulang ke Jakarta. Rasanya seperti akan terjebur ke dalam sumur yang dalam dan gelap.
Semalaman aku menangis. Mungkinkah aku akan kembali ke sini. Bandung, tempat hatiku kutinggalkan. Terbayang olehku senyum bahagia ibu, akhirnya aku pulang.
Keesokan harinya setelah mengurus segala sesuatu di pabrik, aku pamit ke semua teman di pabrik. Mbak Sisi memelukku mengucap terimakasih. Tiga orang stafku melepasku dengan tangis. Sore hari dengan bis aku pulang ke Jakarta. Tak bisa kutahan airmataku ketika terlihat lampu-lampu kota Jakarta. Sebentar lagi bis yang kutumpangi masuk terminal.
September, 1992
KANNIKA MASIH SUKA LAKI-LAKI
Setelah menarik napas panjang, pelan-pelan dibukanya pintu kelas. Kak Ronald, pelatih basket sekaligus pimpinan klubnya nampak duduk di atas meja, kakinya bertumpu di bangku di depannya, tangannya memutar-mutar bola basket. Nampak agak gelisah. Kannika melangkah ragu ke dalam kelas. Ada apa sebenarnya, kenapa kak Ronald memanggilnya?
Sesuatu yang aneh juga terjadi beberapa hari ini. Tiba-tiba Indra – teman sesama atlit di klub basket - menjemputnya untuk latihan. Dan ketika latihan usai, dia berkenan mengantarnya pulang. Padahal rumahnya berlawanan arah, tetapi Indra mau berepot-repot antar jemput ke lapangan seminggu terakhir ini. Karena Indra beberapa kali menjemput Kannika, Fonni, teman terdekatnya di klub basket, tidak pernah menjemputnya lagi. Sudah dua kali latihan, Fonni tidak pernah hadir di lapangan.
Yang lebih aneh lagi, Kannika sama sekali tidak merasakan Indra suka dengannya. Selama perjalanan dari rumah ke lapangan yang menempuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki, Indra tidak banyak cakap. Indra sama sekali tidak grogi, bahkan nampaknya seperti terpaksa. Kalau terpaksa kenapa dia repot-repot antar jemput. Indra juga pasti tahu, aku sama sekali sedang tidak naksir dia, pikir Kannika bingung.
Sebenarnya ada seseorang yang Kannika suka di klub. Sudah lama Kannika memperhatikannya. Sejak kelas III SMP, sekarang Kannika kelas I SMU. Adrian tidak terlalu tinggi, tidak gemuk, wajahnya biasa saja. Kannika suka senyum Adrian. Buat Kannika, senyum Adrian tampak tulus. Pandangan mata Adrian juga lembut. Dari senyum dan pandangan matanya, rasanya Adrian juga menaruh hati.
Kannika tahu, Adrian pasti tahu kalau Kannika suka padanya. Tetapi Adrian nampaknya tidak peduli. Mungkin dia tidak berani dengan gadis seperti aku, pikir Kannika. Rumah orang tuanya terletak di jalan utama. Kannika bersekolah di SMP unggulan dan kemudian masuk SMU unggulan di daerah itu. Otaknya memang cukup cemerlang.
Sedangkan Adrian, rumah orang tuanya terletak di jalan kedua. Masih bisa di lewati mobil, asal jangan berpapasan. Adrian bersekolah di SMU tidak berperingkat di daerah itu. Prestasinya pun hanya rata-rata. Kalau boleh memilih, aku ingin Adrian saja yang antar jemput ke lapangan, pikir Kania nakal. Tetapi sebenarnya ada apa dengan Indra. Siapa yang menyuruhnya antar jemput aku?
“Masuk Kannika!”, suara kak Ronald terdengar terlalu keras di telinga Kannika.
Kannika mengambil kursi di samping kak Ronald. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu?”
“Tidak, kak”
“Saya tidak mau berlama-lama, latihan sebentar lagi dimulai”, Kak Ronald tampak gelisah. Bola basket di tangannya menjadi korban. Sebentar di putar, sebentar di drible, pindah tangan kiri dan kanan. Wajahnya berkerut seperti berpikir, bola matanya pun nampak tidak tenang. Yang jelas, tidak berani menatap Kannika.
“Saya minta kamu menjauh dari Fonni”, Kannika memandang kak Ronald, heran. “Kamu pasti tahu alasannya”, lanjut kak Ronald.
“Apa alasannya?”, tanya Kannika polos.
“Kamu teman dekatnya. Kamu lebih tahu, siapa dia”, jawab kak Ronald diplomatis.
“Memangnya siapa dia?”, jantungnya mulai berdegup.
******
Sebenarnya Kannika tahu, apa yang dimaksud kak Ronald. Namun hati kecilnya mengatakan, dia harus berpihak kepada Fonni. Walau bagaimanapun Fonni adalah sahabatnya sejak lama. Memang ada beberapa sikap Fonni yang terasa janggal, tetapi Kannika pikir, mungkin itu ungkapan kasih sayang Fonni padanya. Tetapi sejujurnya Kannika ragu, apakah normal ungkapan kasih dua perempuan seperti itu?
Fonni, gadis kelahiran tanah manise, dua tahun lebih tua dari Kannika. Fonni satu sekolah dengan Adrian. Mungkin mereka pernah sekelas, entah di kelas satu atau dua. Sejak pertama kali bertemu di klub basket, nampaknya Fonni sudah tertarik dengan Kannika.
Awalnya mereka bersahabat bertiga. Kannika, Fonni dan Mei. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya. Kannika merasa tidak cocok dengan Mei. Menurut Kannika, Mei terlalu glamour dan terkadang terlalu angkuh, mungkin karena uang jajan pemberian orang tuanya banyak. Selanjutnya tinggal Kannika dan Fonni yang bersahabat.
Di klub basket, Fonni adalah bintang. Dia lincah menyusup dan menembus pertahanan lawan kemudian slum dunk untuk memasukan bola ke jaring lawan. Tubuhnya mungil, kurus, lurus, hitam, payudaranya rata. Kecuali ke sekolah dan gereja, Fonni lebih suka mengenakan celana panjang dan kaos longgar. Dengan sorot mata yang tajam dan menusuk, sepintas dia seperti laki-laki. Kalau berbicara dan tertawa, baru kelihatan dia perempuan.
Untuk atlit putri ada hari absen latihan, terutama di jadwal latihan fisik. Pada saat latihan fisik, atlit sering dibuat terkencing-kencing saking lelahnya. Banyak atlit putri enggan mengikuti latihan fisik bila sedang datang bulan. Tetapi Fonni tidak pernah absen sama sekali, dia dikenal sebagai atlit putri yang paling rajin. Sehingga Mei pernah berseloroh, Fonni tidak pernah datang bulan.
Fonni pandai menghidupkan suasana. Sikapnya ramah dan menyenangkan, sehingga gadis yang pendiam bisa jadi ceriwis dibuatnya. Fonni juga pandai memetik gitar. Dia sering meminta Kannika dan atlit-atlit yang lain bernyanyi diiringi gitarnya. Sehingga saat menunggu waktu latihan atau istirahat menjadi ramai dan riuh. Fonni sering menjadi bintang saat kumpul-kumpul seperti itu.
Fonni tinggal di rumah kontrakan dengan ibu dan seorang kakak dan adik laki-laki. Bapak Fonni meninggal ketika dia masih kecil. Adik Fonni sebaya Kannika, bersekolah di SMK. Sedangkan kakak Fonni pengangguran. Fonni sering cerita tentang adiknya, tetapi tidak pernah tentang kakaknya. Tidak tahu persis, siapa yang membiayai keluarga itu.
Pada suatu minggu siang, ketika Kannika bertandang ke rumah Fonni, dilihatnya kakak Fonni sedang tiduran sambil merokok di ruang tamu. Matanya terpejam, tampak menikmati rokoknya, tidak terganggu sama sekali dengan kemunculan Kannika. Bau asap rokok itu agak aneh. Aromanya wangi yang khas.
“Kok, bau asap rokoknya agak aneh ya?”, Kannika menghirup dalam-dalam.
“Itu bukan rokok biasa, campur ganja”, jawab Fonni. “Kakakku emang tukang ngegele”, lanjut Fonni.
“Kakakmu kerja atau sekolah?”
“Tidak kerja dan tidak sekolah. Kerjanya ngabisin duit mama untuk beli ganja”, jawab Fonni sambil menarik Kannika masuk ke kamarnya. Mereka selalu ngobrol dikamar Fonni.
Mamanya Fonni ramah dan sering mengajak Kannika bicara kalau sedang main ke rumah itu. Nampaknya Fonni mendapat warisan sikap ramah dari mamanya. Sedangkan adik Fonni tidak pernah menyapa Kannika.
Ketika Kannika lulus SMP dan masuk SMU, Fonni semakin sering main ke rumah Kannika, bahkan terkadang menjemput Kannika di sekolahnya. Setelah itu mereka ngobrol di teras rumah Kannika - orang tua Kannika tidak membolehkan tamu anaknya main di kamar tidur – atau tidur-tiduran di kamar Fonni.
Pada awalnya Kannika merasa aneh, tapi kemudian menjadi terbiasa, ketika Fonni sering bilang kangen padanya. Sering Fonni memeluk dan mencium pipinya sambil mengatakan kangen. Selain bertemu seminggu tiga kali di lapangan basket, sering juga Fonni menjemputnya sebelum latihan, Fonni sering datang ke rumah Kannika pada hari-hari lainnya.
Untuk Kannika, Fonni teman yang menyenangkan. Kannika bisa bercerita apa saja kecuali tentang Adrian. Kannika enggan bercerita mengenai perasaannya terhadap Adrian pada siapa pun. Biasanya tentang papa yang otoriter - Kannika tidak diperbolehkan berkeliaran di luar rumah dengan alasan apapun setelah jam 6 sore kecuali dengan kedua orang tuanya - atau tentang teman-temannya di sekolah, Padma, Dres dan Edi. Dunia Kannika hanyalah sebatas rumah, sekolah, rumah Fonni dan lapangan basket.
Dalam keseharian Kannika lebih banyak memikirkan pelajaran sekolah, diseling membaca novel atau ngobrol dengan Fonni. Tampaknya tidak ada masalah dalam hidupnya, kecuali keinginannya untuk jauh dari orang tua, supaya bisa lebih sering berkumpul dengan teman-temannya.
Bila malam tiba, Kannika menyibukan dirinya dengan PR sekolah, membaca buku paket sekolah, latihan soal matematika, menonton televisi, makan malam dan tidur. Diusianya yang 16 tahun, belum ada tamu laki-laki di malam minggu. Terkadang hari minggu sore, Dres atau Edi atau keduanya datang ke rumah Kannika. Tetapi sikap orang tua Kannika yang tidak ramah, membuat mereka jarang datang. Kannika sendiri lebih suka mereka tidak datang ke rumahnya.
Sepi sebenarnya yang dirasakan Kannika dalam kesehariannya. Sekali-sekali Kannika ingin bisa berkumpul dengan teman-teman sekolahnya. Biasanya ada yang ulang tahun dan mentraktir makan di suatu tempat. Atau ada acara yang diselenggarakan sekolah dan mereka terlibat dalam kepanityaan. Mereka akan kumpul di rumah seorang teman, membicarakan rencana kegiatan yang akan dilakukan atau hanya ngobrol kesana kemari menghabiskan waktu. Teman-teman sekolahnya di SMU unggulan pintar-pintar. Mereka tidak hanya pintar dalam pelajaran sekolah tetapi juga aktif dalam organisasi sekolah. Kegiatan sekolah dilakukan pada sore hari, jika ada acara khusus, persiapan bahkan sampai malam.
Pernah pada suatu kegiatan sekolah, Kannika harus meninggalkan teman-temannya yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya, karena waktu sudah menunjukan pukul 17 lewat. Papa akan marah besar, jika sampai petang Kannika belum pulang. Kannika tahu teman-temann maklum dengan aturan di rumahnya. Tetapi Kannika lebih nyaman dengan menghentikan aktivitas di sekolah. Kegiatan di luar sekolah cukup berlatih basket seminggu tiga kali jam 3 hingga 5 sore, kemudian pulang dan asyik sendiri di kamarnya.
******
Selama ini Fonni banyak membina keakraban dengan teman perempuan. Di antara teman perempuan, Fonni merasa dibutuhkan. Beberapa temen perempuan sering meminta antar kesana dan kesini. Postur dan sikapnya yang kelelakian membuat teman-teman perempuannya lebih nyaman bersamanya daripada dengan teman lelaki, paling tidak orang tua mereka tidak cerewet melepas anak gadisnya pergi dengan perempuan, terutama di malam hari. Tetapi Fonni bukannya tidak pernah memilih. Tanpa disadari dia menyukai perempuan yang putih, lembut dan tampak rapuh. Mereka perlu dilindungi dan diperhatikan, demikian batin Fonni.
Fonni nampak bergairah mengisi hari-hari Kannika. Jika Kannika mau, dia bisa datang ke rumahnya setiap hari, termasuk hari minggu. Entah sejak kapan, sering ada rasa rindu terhadap Kannika. Ingin memeluk tubuhnya yang montok dan mencium pipinya. Apalagi sejak di SMU, tubuh Kannika padat berisi, payudaranya penuh dan tegak, kulit tubuhnya bersih, bibirnya kemerahan diatas kulit wajah yang putih. Ada perasaan aneh yang muncul belakangan. Perasaan ini membuat Fonni mengubah panggilan menjadi ‘sayang’ jika mereka sedang berdua saja. Semula Kannika kaget mendengar Fonni memanggilnya ‘sayang’, tetapi menjadi terbiasa karena sering berulang.
Sore itu di lapangan, Kannika nampak menggemaskan dengan kaos kutung warna putih bersetrip merah di sepanjang pinggang kanan kiri dan nomor 14 di punggung dan dada kiri. Bercelana pendek bersetrip merah, juga di kanan kirinya. Kulitnya nampak bening bersinar dengan pipi kemerahan terkena sinar matahari sore, keringatnya bercucuran. Fonni tidak sabar menunggu saat istirahat. Jantung rasanya berdebar memandang Kannika, apalagi saat dia berlari, dadanya terguncang-guncang. Fonni menarik napas dalam mencoba berkonsentrasi ketika akan melakukan long shoot.
“Kan, kamu cakep banget sore ini”, bisik Fonni tidak bisa menahan diri ketika pluit panjang tanda istirahat terdengar. Kannika memandang Fonni sesaat, kemudian menghambur ke tasnya untuk mengambil botol minum. Fonni mengikutinya.
“Kan, pipimu merah banget. Aku pengen cium pipimu”, bisik Fonni lagi. Tanpa melepaskan botol dari mulutnya, Kannika menyorongkan pipinya untuk di cium. Tapi Fonni tidak segera mencium. Tiba-tiba ada perasaan malu, teman-teman sepertinya memandang tingkah laku mereka. Fonni resah.....
“Kan, ke toilet yuk”
“Yuk, aku juga kebelet pipis”
Di toilet Fonni menciumi pipi Kannika, gemas.
Dan sejak itu, setiap Kannika ingin pipis, Fonni menemaninya ke toilet.
******
Sore itu, sepulang sekolah Kannika tidur-tiduran di kamar Fonni. Rok abu-abunya tertarik ke atas, sehingga pahanya yang putih mulus terbuka. Fonni yang berbaring di sampingnya menggesek-gesekkan pahanya ke paha Kannika seraya menciumi pipi Kannika.
Mata Kannika terpejam, tidak diperhatikannya kelakuan Fonni. Kannika sedang memikirkan Adrian. Kemarin sore, sikap Adrian agak berbeda. Saat istirahat - Fonni yang biasanya ada di sampingnya sedang menerima latihan ekstra dari kak Ronald - Adrian mendekati dan duduk di sampingnya.
“Gimana kabarnya, Kan?”, sapa Adrian seraya tersenyum.
Kannika kikuk, wajahnya terasa panas, selama ini Adrian tidak pernah mencuri waktu berduaan dengan Kannika. Beberapa kali memang Adrian memergoki Kannika tanpa sadar sedang memandangnya, laki-laki itu segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Paling jauh, Adrian memberinya senyum. Tapi Kannika segera melengos, merasa malu terpergok.
“Ya, kayak gini....”, Kannika tidak peduli.
“Hmm, ngomong-ngomong Fonni sering ya main ke rumahmu?”
“Emang kenapa?”
Tiba-tiba Kannika tersentak, membuka matanya. Fonni mencoba mencium bibirnya.
“Mau apa?”, Kannika heran.
Fonni tertawa.
“Sengaja....biar kamu bangun. Kamu lagi mikir apa sih?”
“Nggak”
“Kamu pernah dicium cowok, Kan?”
“Belum”
“Mau kuajarin ciuman?”
Tanpa menunggu jawaban Kannika. Fonni mengecup bibir Kannika. Sekali...dua kali.....tiba-tiba pintu kamar Fonni dibuka. Kakak Fonni masuk, menyeringai ke mereka berdua. Tergesa Fonni bangun, kemudian mengambil uang dari dalam tas sekolahnya. Kakaknya merampas uang dari tangan Fonni. Fonni segera menutup pintu kamar.
“Aku pulang ya...”, Kannika merasa tidak nyaman lagi di rumah Fonni.
“Yuk, aku antar”
Setiba di rumah Kannika, Fonni tidur-tiduran di teras rumah Kannika yang sejuk dengan pepohonan. Kannika duduk memandang Fonni. Matanya tertumbuk pada area di antara dua paha Fonni. Tampak cairan dari selangkangannya, menembus, membasahi celana panjang yang dikenakan.
“Ngompol ya...kok selangkangan basah?”
Segera Fonni merapatkan kedua pahanya.
“Nggak, mungkin aku tadi duduk di tempat yang basah”
Kannika tertegun memandang Fonni. Kalau Fonni duduk di tempat yang basah, bukan di area itu basahnya. Yang Kannika tahu, dia juga basah kalau sedang ingat-ingat senyum dan tatapan mata Adrian. Apalagi seperti sore kemarin, ketika Adrian tiba-tiba mendekatinya.
“Aku cuma mau bilang, hati-hati ya...”
Adrian pergi seraya meninggalkan senyum dan tatap matanya yang memikat. Kannika tertegun, dia minta aku berhati-hati dengan Fonni. Adrian, kenapa kamu tidak peduli denganku, aku suka kamu sejak lama, Kannika mengeluh.
Siapa laki-laki yang membuat Fonni basah? Sesaat Kannika teringat ciuman Fonni. Apakah Fonni basah karena ciuman tadi? Ah.....
Kannika menatap Fonni, sinar matanya curiga. Fonni menatap Kannika, gelisah dan ada ketakutan.
******
Minggu siang, usai kebaktian di gereja Sang Timur, Kannika melihat Fonni menunggunya di halaman gereja.
“Heh, ngapain kesini?”
“Siapa yang melarang?”
“Tidak ada. Tapi kok tumben”
“Aku mau ajak kamu ke sekolahku. Ada panggung musik”
“Aku bilang papa mama dulu”
Kannika berlari menuju orang tuanya. Tak lama dia kembali ke Fonni.
Acara sedang berlangsung ketika Kannika dan Fonni tiba di halaman sekolah. Mereka lesehan dibawah pohon, berbaur dengan siswa yang lain. Beberapa siswa menyapa Fonni akrab. Sedang asyik mendengarkan musik, tiba-tiba seseorang menepuk pundak Kannika. Adrian berjongkok di belakangnya.
“Sama siapa?”, Adrian berteriak karena suara musik sangat keras.
Kannika menunjuk Fonni di sampingnya. Adrian dan Fonni saling menyapa.
“Kan, ikut aku yuk. Ada tempat yang lebih nyaman daripada di sini”, Kannika ragu. Jantung di dadanya sulit dikendalikan. Adrian menatapnya, menunggu jawaban.
“Sebentar saja, ada yang ingin kubicarakan, nanti kuantar kamu kesini lagi”, Adrian bicara di telinga Kannika, supaya tidak perlu berteriak. Tangannya memegang bahu Kannika. Kali ini napas Kannika sulit dikendalikan. Belum pernah Adrian sedekat ini dengannya. Iya...iya... aku mau, tetapi bagaimana dengan Fonni, Kannika gelisah. Adrian menangkap kegelisahan Kannika.
“Fon, aku ajak Kannika sebentar, ada yang mau kuperlihatkan. Nanti kuantar Kannika kesini lagi”, teriak Adrian pada Fonni.
Sesaat Fonni ragu, tetapi kemudian mengangguk. Sinar mata tidak suka mengiringi kepergian Kannika dan Adrian.
Adrian membawa Kannika ke halaman dalam sekolah. SMU itu memiliki beberapa halaman. Halaman dalam sekolah terbagi dua karena landscape tanahnya. Sebagian halaman di atas dan sebagian di bawah, dihubungkan dengan beberapa anak tangga. Adrian mengajak Kannika duduk di anak-anak tangga. Suara musik terdengar dari tempat mereka. Kannika duduk dengan gelisah. Adrian terlihat menarik minggu siang itu. Dia mengenakan celana jeans dipadu kaos polo kombinasi warna biru tua dan putih.
“Kan, mmh... kamu tahu tidak kalau sedang menjadi bahan pembicaraan di klub?”
Wajah Adrian serius, tidak ada senyum.
Kannika menggeleng.
“Aku yakin kamu cewek normal. Aku bisa merasakan, kamu suka sama aku....”, Adrian melirik, wajah Kannika merona.
“Aku...aku... sebenarnya juga suka sama kamu. Tapi tidak sekarang. Aku belum punya apa-apa, Kan. Dan sebentar lagi aku akan ujian SMU”
“Kuharap kamu jujur, Kan. Apakah keakrabanmu dengan Fonni, keakraban yang wajar?”
Kali ini Kannika menatap Adrian.
“Maaf, Kan. Aku nggak ingin kamu jadi buah bibir yang jelek di klub”
Sesaat mereka bertatapan. Kannika mengerti, Adrian bermaksud menolongnya.
“Kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku. Berhati-hatilah kalau bukan keakraban yang wajar”
“Yuk, kita ke depan. Sudah cukup lama kita di sini”, ajak Adrian lembut.
Sebelum tiba di tempat Fonni, mereka berpapasan. Fonni tidak bisa menutupi kekesalannya. Diajaknya Kannika pulang, setelah berbasa basi dengan Adrian.
“Dia memperlihatkan apa?”, Fonni penasaran.
“Tidak ada. Dia mengajakku berbicara”
“Bicara apa?”
“Adrian suka sama aku, dan aku juga sudah lama suka dengan Adrian. Kami jadian. Kasih aku selamat, Fon”, Kannika mengulurkan tangannya. Entah, tiba-tiba Kannika mendapat ide untuk berbicara begitu.
Sesaat Fonni tertegun. Diabaikannya tangan Kannika.
“Malam mingguku tidak sepi lagi, Fon. Sekarang ada Adrian”
“Kannika, aku nggak suka dengan Adrian!”
“Kenapa? Adrian baik, lembut. Maaf ya, Fon. Kita mungkin tidak akan sering-sering lagi bertemu”
Sepanjang perjalanan, Fonni terdiam. Rahangnya mengatup rapat. Otot-otot di tangannya mengeras dan sorot matanya liar. Setelah mengantar Kannika pulang, Fonni langsung pulang. Tidak di dengarnya tawaran Kannika untuk mampir.
Maafkan aku, Fon. Tetapi aku memang tidak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Beginilah cara yang paling baik untuk mengakhiri keakraban yang tidak wajar ini.
******
“Dia itu lesbian tau!”, kata kak Ronald kesal.
“Saya yang paling tahu, Fonni lesbian atau bukan”, Kannika berkata dingin.
“Orang tua saya tidak melarang saya bergaul dengan Fonni. Kalau kak Ronald tidak suka, saya akan keluar dari klub”, Kannika berkata seraya berdiri dan berjalan menuju pintu. Terjawab sudah keanehan-keanehan yang terjadi.
Kannika kecewa, kenapa mereka harus mengeluarkan Fonni dari klub ini. Dan mereka menyuruh Indra antar jemput untuk menjauhkannya dari Fonni.
Sebelum pulang, ditemuinya Adrian.
“Aku tidak latihan sore ini. Aku tunggu kamu di rumah”, setelah berganti pakaian dan mengemasi barang-barangnya Kannika pulang.
Minggu sore itu Adrian hadir di teras rumahnya. Kannika merasa dekat dengan Adrian kini. Ternyata selama ini Adrian diam-diam juga memperhatikannya.
“Klub jadi terasi sepi tanpa kamu”
Kannika tersenyum. Dia tahu pipinya pasti merah saat itu.
“Aku nggak bisa bertahan di klub itu. Kalau Fonni dikeluarkan, saya juga harus dikeluarkan. Fonni baik dengan saya selama ini, walaupun dia.....”, Kannika terdiam, diliriknya Adrian, yang ternyata sedang menatapnya.
“Kalau tidak nyaman, tidak perlu cerita, Kan. Saya bisa menduga apa yang terjadi. Cuma aku pengen tahu, kenapa Fonni jadi jarang main ke sini lagi?”
“Dia marah. Aku bilang, kita pacaran, jadi aku tidak bisa lagi sering-sering bertemu dengannya, karena sudah ada kamu”, Kannika khawatir, ditatapnya Adrian. “Itu cuma alasan saja. Maaf, kalau kamu tidak suka”
Adrian tersenyum, lembut ditatapnya Kannika.
“Aku suka, Kan. Tapi seperti yang pernah aku bilang, kita masih SMU dan aku belum punya apa-apa”
“Aku mengerti, Ad. Kamu perlu tahu, saya juga belum punya apa-apa”, ditatapnya Adrian.
Kannika merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Emosinya begitu terkontrol walaupun usianya tidak terpaut jauh dari dirinya.
Beberapa kali Fonni main ke rumah, Kannika menerimanya dengan baik. Tidak lama kemudian Fonni menghilang tanpa kabar. Hingga suatu hari, Kannika mendengar kabar, setelah lulus SMU, Fonni masuk Susteran Santa Perawan Maria di kota Malang. Sedangkan Adrian diterima di universitas negeri di kota Bandung.
Jakarta, 1981-1982
Sesuatu yang aneh juga terjadi beberapa hari ini. Tiba-tiba Indra – teman sesama atlit di klub basket - menjemputnya untuk latihan. Dan ketika latihan usai, dia berkenan mengantarnya pulang. Padahal rumahnya berlawanan arah, tetapi Indra mau berepot-repot antar jemput ke lapangan seminggu terakhir ini. Karena Indra beberapa kali menjemput Kannika, Fonni, teman terdekatnya di klub basket, tidak pernah menjemputnya lagi. Sudah dua kali latihan, Fonni tidak pernah hadir di lapangan.
Yang lebih aneh lagi, Kannika sama sekali tidak merasakan Indra suka dengannya. Selama perjalanan dari rumah ke lapangan yang menempuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki, Indra tidak banyak cakap. Indra sama sekali tidak grogi, bahkan nampaknya seperti terpaksa. Kalau terpaksa kenapa dia repot-repot antar jemput. Indra juga pasti tahu, aku sama sekali sedang tidak naksir dia, pikir Kannika bingung.
Sebenarnya ada seseorang yang Kannika suka di klub. Sudah lama Kannika memperhatikannya. Sejak kelas III SMP, sekarang Kannika kelas I SMU. Adrian tidak terlalu tinggi, tidak gemuk, wajahnya biasa saja. Kannika suka senyum Adrian. Buat Kannika, senyum Adrian tampak tulus. Pandangan mata Adrian juga lembut. Dari senyum dan pandangan matanya, rasanya Adrian juga menaruh hati.
Kannika tahu, Adrian pasti tahu kalau Kannika suka padanya. Tetapi Adrian nampaknya tidak peduli. Mungkin dia tidak berani dengan gadis seperti aku, pikir Kannika. Rumah orang tuanya terletak di jalan utama. Kannika bersekolah di SMP unggulan dan kemudian masuk SMU unggulan di daerah itu. Otaknya memang cukup cemerlang.
Sedangkan Adrian, rumah orang tuanya terletak di jalan kedua. Masih bisa di lewati mobil, asal jangan berpapasan. Adrian bersekolah di SMU tidak berperingkat di daerah itu. Prestasinya pun hanya rata-rata. Kalau boleh memilih, aku ingin Adrian saja yang antar jemput ke lapangan, pikir Kania nakal. Tetapi sebenarnya ada apa dengan Indra. Siapa yang menyuruhnya antar jemput aku?
“Masuk Kannika!”, suara kak Ronald terdengar terlalu keras di telinga Kannika.
Kannika mengambil kursi di samping kak Ronald. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu?”
“Tidak, kak”
“Saya tidak mau berlama-lama, latihan sebentar lagi dimulai”, Kak Ronald tampak gelisah. Bola basket di tangannya menjadi korban. Sebentar di putar, sebentar di drible, pindah tangan kiri dan kanan. Wajahnya berkerut seperti berpikir, bola matanya pun nampak tidak tenang. Yang jelas, tidak berani menatap Kannika.
“Saya minta kamu menjauh dari Fonni”, Kannika memandang kak Ronald, heran. “Kamu pasti tahu alasannya”, lanjut kak Ronald.
“Apa alasannya?”, tanya Kannika polos.
“Kamu teman dekatnya. Kamu lebih tahu, siapa dia”, jawab kak Ronald diplomatis.
“Memangnya siapa dia?”, jantungnya mulai berdegup.
******
Sebenarnya Kannika tahu, apa yang dimaksud kak Ronald. Namun hati kecilnya mengatakan, dia harus berpihak kepada Fonni. Walau bagaimanapun Fonni adalah sahabatnya sejak lama. Memang ada beberapa sikap Fonni yang terasa janggal, tetapi Kannika pikir, mungkin itu ungkapan kasih sayang Fonni padanya. Tetapi sejujurnya Kannika ragu, apakah normal ungkapan kasih dua perempuan seperti itu?
Fonni, gadis kelahiran tanah manise, dua tahun lebih tua dari Kannika. Fonni satu sekolah dengan Adrian. Mungkin mereka pernah sekelas, entah di kelas satu atau dua. Sejak pertama kali bertemu di klub basket, nampaknya Fonni sudah tertarik dengan Kannika.
Awalnya mereka bersahabat bertiga. Kannika, Fonni dan Mei. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya. Kannika merasa tidak cocok dengan Mei. Menurut Kannika, Mei terlalu glamour dan terkadang terlalu angkuh, mungkin karena uang jajan pemberian orang tuanya banyak. Selanjutnya tinggal Kannika dan Fonni yang bersahabat.
Di klub basket, Fonni adalah bintang. Dia lincah menyusup dan menembus pertahanan lawan kemudian slum dunk untuk memasukan bola ke jaring lawan. Tubuhnya mungil, kurus, lurus, hitam, payudaranya rata. Kecuali ke sekolah dan gereja, Fonni lebih suka mengenakan celana panjang dan kaos longgar. Dengan sorot mata yang tajam dan menusuk, sepintas dia seperti laki-laki. Kalau berbicara dan tertawa, baru kelihatan dia perempuan.
Untuk atlit putri ada hari absen latihan, terutama di jadwal latihan fisik. Pada saat latihan fisik, atlit sering dibuat terkencing-kencing saking lelahnya. Banyak atlit putri enggan mengikuti latihan fisik bila sedang datang bulan. Tetapi Fonni tidak pernah absen sama sekali, dia dikenal sebagai atlit putri yang paling rajin. Sehingga Mei pernah berseloroh, Fonni tidak pernah datang bulan.
Fonni pandai menghidupkan suasana. Sikapnya ramah dan menyenangkan, sehingga gadis yang pendiam bisa jadi ceriwis dibuatnya. Fonni juga pandai memetik gitar. Dia sering meminta Kannika dan atlit-atlit yang lain bernyanyi diiringi gitarnya. Sehingga saat menunggu waktu latihan atau istirahat menjadi ramai dan riuh. Fonni sering menjadi bintang saat kumpul-kumpul seperti itu.
Fonni tinggal di rumah kontrakan dengan ibu dan seorang kakak dan adik laki-laki. Bapak Fonni meninggal ketika dia masih kecil. Adik Fonni sebaya Kannika, bersekolah di SMK. Sedangkan kakak Fonni pengangguran. Fonni sering cerita tentang adiknya, tetapi tidak pernah tentang kakaknya. Tidak tahu persis, siapa yang membiayai keluarga itu.
Pada suatu minggu siang, ketika Kannika bertandang ke rumah Fonni, dilihatnya kakak Fonni sedang tiduran sambil merokok di ruang tamu. Matanya terpejam, tampak menikmati rokoknya, tidak terganggu sama sekali dengan kemunculan Kannika. Bau asap rokok itu agak aneh. Aromanya wangi yang khas.
“Kok, bau asap rokoknya agak aneh ya?”, Kannika menghirup dalam-dalam.
“Itu bukan rokok biasa, campur ganja”, jawab Fonni. “Kakakku emang tukang ngegele”, lanjut Fonni.
“Kakakmu kerja atau sekolah?”
“Tidak kerja dan tidak sekolah. Kerjanya ngabisin duit mama untuk beli ganja”, jawab Fonni sambil menarik Kannika masuk ke kamarnya. Mereka selalu ngobrol dikamar Fonni.
Mamanya Fonni ramah dan sering mengajak Kannika bicara kalau sedang main ke rumah itu. Nampaknya Fonni mendapat warisan sikap ramah dari mamanya. Sedangkan adik Fonni tidak pernah menyapa Kannika.
Ketika Kannika lulus SMP dan masuk SMU, Fonni semakin sering main ke rumah Kannika, bahkan terkadang menjemput Kannika di sekolahnya. Setelah itu mereka ngobrol di teras rumah Kannika - orang tua Kannika tidak membolehkan tamu anaknya main di kamar tidur – atau tidur-tiduran di kamar Fonni.
Pada awalnya Kannika merasa aneh, tapi kemudian menjadi terbiasa, ketika Fonni sering bilang kangen padanya. Sering Fonni memeluk dan mencium pipinya sambil mengatakan kangen. Selain bertemu seminggu tiga kali di lapangan basket, sering juga Fonni menjemputnya sebelum latihan, Fonni sering datang ke rumah Kannika pada hari-hari lainnya.
Untuk Kannika, Fonni teman yang menyenangkan. Kannika bisa bercerita apa saja kecuali tentang Adrian. Kannika enggan bercerita mengenai perasaannya terhadap Adrian pada siapa pun. Biasanya tentang papa yang otoriter - Kannika tidak diperbolehkan berkeliaran di luar rumah dengan alasan apapun setelah jam 6 sore kecuali dengan kedua orang tuanya - atau tentang teman-temannya di sekolah, Padma, Dres dan Edi. Dunia Kannika hanyalah sebatas rumah, sekolah, rumah Fonni dan lapangan basket.
Dalam keseharian Kannika lebih banyak memikirkan pelajaran sekolah, diseling membaca novel atau ngobrol dengan Fonni. Tampaknya tidak ada masalah dalam hidupnya, kecuali keinginannya untuk jauh dari orang tua, supaya bisa lebih sering berkumpul dengan teman-temannya.
Bila malam tiba, Kannika menyibukan dirinya dengan PR sekolah, membaca buku paket sekolah, latihan soal matematika, menonton televisi, makan malam dan tidur. Diusianya yang 16 tahun, belum ada tamu laki-laki di malam minggu. Terkadang hari minggu sore, Dres atau Edi atau keduanya datang ke rumah Kannika. Tetapi sikap orang tua Kannika yang tidak ramah, membuat mereka jarang datang. Kannika sendiri lebih suka mereka tidak datang ke rumahnya.
Sepi sebenarnya yang dirasakan Kannika dalam kesehariannya. Sekali-sekali Kannika ingin bisa berkumpul dengan teman-teman sekolahnya. Biasanya ada yang ulang tahun dan mentraktir makan di suatu tempat. Atau ada acara yang diselenggarakan sekolah dan mereka terlibat dalam kepanityaan. Mereka akan kumpul di rumah seorang teman, membicarakan rencana kegiatan yang akan dilakukan atau hanya ngobrol kesana kemari menghabiskan waktu. Teman-teman sekolahnya di SMU unggulan pintar-pintar. Mereka tidak hanya pintar dalam pelajaran sekolah tetapi juga aktif dalam organisasi sekolah. Kegiatan sekolah dilakukan pada sore hari, jika ada acara khusus, persiapan bahkan sampai malam.
Pernah pada suatu kegiatan sekolah, Kannika harus meninggalkan teman-temannya yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya, karena waktu sudah menunjukan pukul 17 lewat. Papa akan marah besar, jika sampai petang Kannika belum pulang. Kannika tahu teman-temann maklum dengan aturan di rumahnya. Tetapi Kannika lebih nyaman dengan menghentikan aktivitas di sekolah. Kegiatan di luar sekolah cukup berlatih basket seminggu tiga kali jam 3 hingga 5 sore, kemudian pulang dan asyik sendiri di kamarnya.
******
Selama ini Fonni banyak membina keakraban dengan teman perempuan. Di antara teman perempuan, Fonni merasa dibutuhkan. Beberapa temen perempuan sering meminta antar kesana dan kesini. Postur dan sikapnya yang kelelakian membuat teman-teman perempuannya lebih nyaman bersamanya daripada dengan teman lelaki, paling tidak orang tua mereka tidak cerewet melepas anak gadisnya pergi dengan perempuan, terutama di malam hari. Tetapi Fonni bukannya tidak pernah memilih. Tanpa disadari dia menyukai perempuan yang putih, lembut dan tampak rapuh. Mereka perlu dilindungi dan diperhatikan, demikian batin Fonni.
Fonni nampak bergairah mengisi hari-hari Kannika. Jika Kannika mau, dia bisa datang ke rumahnya setiap hari, termasuk hari minggu. Entah sejak kapan, sering ada rasa rindu terhadap Kannika. Ingin memeluk tubuhnya yang montok dan mencium pipinya. Apalagi sejak di SMU, tubuh Kannika padat berisi, payudaranya penuh dan tegak, kulit tubuhnya bersih, bibirnya kemerahan diatas kulit wajah yang putih. Ada perasaan aneh yang muncul belakangan. Perasaan ini membuat Fonni mengubah panggilan menjadi ‘sayang’ jika mereka sedang berdua saja. Semula Kannika kaget mendengar Fonni memanggilnya ‘sayang’, tetapi menjadi terbiasa karena sering berulang.
Sore itu di lapangan, Kannika nampak menggemaskan dengan kaos kutung warna putih bersetrip merah di sepanjang pinggang kanan kiri dan nomor 14 di punggung dan dada kiri. Bercelana pendek bersetrip merah, juga di kanan kirinya. Kulitnya nampak bening bersinar dengan pipi kemerahan terkena sinar matahari sore, keringatnya bercucuran. Fonni tidak sabar menunggu saat istirahat. Jantung rasanya berdebar memandang Kannika, apalagi saat dia berlari, dadanya terguncang-guncang. Fonni menarik napas dalam mencoba berkonsentrasi ketika akan melakukan long shoot.
“Kan, kamu cakep banget sore ini”, bisik Fonni tidak bisa menahan diri ketika pluit panjang tanda istirahat terdengar. Kannika memandang Fonni sesaat, kemudian menghambur ke tasnya untuk mengambil botol minum. Fonni mengikutinya.
“Kan, pipimu merah banget. Aku pengen cium pipimu”, bisik Fonni lagi. Tanpa melepaskan botol dari mulutnya, Kannika menyorongkan pipinya untuk di cium. Tapi Fonni tidak segera mencium. Tiba-tiba ada perasaan malu, teman-teman sepertinya memandang tingkah laku mereka. Fonni resah.....
“Kan, ke toilet yuk”
“Yuk, aku juga kebelet pipis”
Di toilet Fonni menciumi pipi Kannika, gemas.
Dan sejak itu, setiap Kannika ingin pipis, Fonni menemaninya ke toilet.
******
Sore itu, sepulang sekolah Kannika tidur-tiduran di kamar Fonni. Rok abu-abunya tertarik ke atas, sehingga pahanya yang putih mulus terbuka. Fonni yang berbaring di sampingnya menggesek-gesekkan pahanya ke paha Kannika seraya menciumi pipi Kannika.
Mata Kannika terpejam, tidak diperhatikannya kelakuan Fonni. Kannika sedang memikirkan Adrian. Kemarin sore, sikap Adrian agak berbeda. Saat istirahat - Fonni yang biasanya ada di sampingnya sedang menerima latihan ekstra dari kak Ronald - Adrian mendekati dan duduk di sampingnya.
“Gimana kabarnya, Kan?”, sapa Adrian seraya tersenyum.
Kannika kikuk, wajahnya terasa panas, selama ini Adrian tidak pernah mencuri waktu berduaan dengan Kannika. Beberapa kali memang Adrian memergoki Kannika tanpa sadar sedang memandangnya, laki-laki itu segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Paling jauh, Adrian memberinya senyum. Tapi Kannika segera melengos, merasa malu terpergok.
“Ya, kayak gini....”, Kannika tidak peduli.
“Hmm, ngomong-ngomong Fonni sering ya main ke rumahmu?”
“Emang kenapa?”
Tiba-tiba Kannika tersentak, membuka matanya. Fonni mencoba mencium bibirnya.
“Mau apa?”, Kannika heran.
Fonni tertawa.
“Sengaja....biar kamu bangun. Kamu lagi mikir apa sih?”
“Nggak”
“Kamu pernah dicium cowok, Kan?”
“Belum”
“Mau kuajarin ciuman?”
Tanpa menunggu jawaban Kannika. Fonni mengecup bibir Kannika. Sekali...dua kali.....tiba-tiba pintu kamar Fonni dibuka. Kakak Fonni masuk, menyeringai ke mereka berdua. Tergesa Fonni bangun, kemudian mengambil uang dari dalam tas sekolahnya. Kakaknya merampas uang dari tangan Fonni. Fonni segera menutup pintu kamar.
“Aku pulang ya...”, Kannika merasa tidak nyaman lagi di rumah Fonni.
“Yuk, aku antar”
Setiba di rumah Kannika, Fonni tidur-tiduran di teras rumah Kannika yang sejuk dengan pepohonan. Kannika duduk memandang Fonni. Matanya tertumbuk pada area di antara dua paha Fonni. Tampak cairan dari selangkangannya, menembus, membasahi celana panjang yang dikenakan.
“Ngompol ya...kok selangkangan basah?”
Segera Fonni merapatkan kedua pahanya.
“Nggak, mungkin aku tadi duduk di tempat yang basah”
Kannika tertegun memandang Fonni. Kalau Fonni duduk di tempat yang basah, bukan di area itu basahnya. Yang Kannika tahu, dia juga basah kalau sedang ingat-ingat senyum dan tatapan mata Adrian. Apalagi seperti sore kemarin, ketika Adrian tiba-tiba mendekatinya.
“Aku cuma mau bilang, hati-hati ya...”
Adrian pergi seraya meninggalkan senyum dan tatap matanya yang memikat. Kannika tertegun, dia minta aku berhati-hati dengan Fonni. Adrian, kenapa kamu tidak peduli denganku, aku suka kamu sejak lama, Kannika mengeluh.
Siapa laki-laki yang membuat Fonni basah? Sesaat Kannika teringat ciuman Fonni. Apakah Fonni basah karena ciuman tadi? Ah.....
Kannika menatap Fonni, sinar matanya curiga. Fonni menatap Kannika, gelisah dan ada ketakutan.
******
Minggu siang, usai kebaktian di gereja Sang Timur, Kannika melihat Fonni menunggunya di halaman gereja.
“Heh, ngapain kesini?”
“Siapa yang melarang?”
“Tidak ada. Tapi kok tumben”
“Aku mau ajak kamu ke sekolahku. Ada panggung musik”
“Aku bilang papa mama dulu”
Kannika berlari menuju orang tuanya. Tak lama dia kembali ke Fonni.
Acara sedang berlangsung ketika Kannika dan Fonni tiba di halaman sekolah. Mereka lesehan dibawah pohon, berbaur dengan siswa yang lain. Beberapa siswa menyapa Fonni akrab. Sedang asyik mendengarkan musik, tiba-tiba seseorang menepuk pundak Kannika. Adrian berjongkok di belakangnya.
“Sama siapa?”, Adrian berteriak karena suara musik sangat keras.
Kannika menunjuk Fonni di sampingnya. Adrian dan Fonni saling menyapa.
“Kan, ikut aku yuk. Ada tempat yang lebih nyaman daripada di sini”, Kannika ragu. Jantung di dadanya sulit dikendalikan. Adrian menatapnya, menunggu jawaban.
“Sebentar saja, ada yang ingin kubicarakan, nanti kuantar kamu kesini lagi”, Adrian bicara di telinga Kannika, supaya tidak perlu berteriak. Tangannya memegang bahu Kannika. Kali ini napas Kannika sulit dikendalikan. Belum pernah Adrian sedekat ini dengannya. Iya...iya... aku mau, tetapi bagaimana dengan Fonni, Kannika gelisah. Adrian menangkap kegelisahan Kannika.
“Fon, aku ajak Kannika sebentar, ada yang mau kuperlihatkan. Nanti kuantar Kannika kesini lagi”, teriak Adrian pada Fonni.
Sesaat Fonni ragu, tetapi kemudian mengangguk. Sinar mata tidak suka mengiringi kepergian Kannika dan Adrian.
Adrian membawa Kannika ke halaman dalam sekolah. SMU itu memiliki beberapa halaman. Halaman dalam sekolah terbagi dua karena landscape tanahnya. Sebagian halaman di atas dan sebagian di bawah, dihubungkan dengan beberapa anak tangga. Adrian mengajak Kannika duduk di anak-anak tangga. Suara musik terdengar dari tempat mereka. Kannika duduk dengan gelisah. Adrian terlihat menarik minggu siang itu. Dia mengenakan celana jeans dipadu kaos polo kombinasi warna biru tua dan putih.
“Kan, mmh... kamu tahu tidak kalau sedang menjadi bahan pembicaraan di klub?”
Wajah Adrian serius, tidak ada senyum.
Kannika menggeleng.
“Aku yakin kamu cewek normal. Aku bisa merasakan, kamu suka sama aku....”, Adrian melirik, wajah Kannika merona.
“Aku...aku... sebenarnya juga suka sama kamu. Tapi tidak sekarang. Aku belum punya apa-apa, Kan. Dan sebentar lagi aku akan ujian SMU”
“Kuharap kamu jujur, Kan. Apakah keakrabanmu dengan Fonni, keakraban yang wajar?”
Kali ini Kannika menatap Adrian.
“Maaf, Kan. Aku nggak ingin kamu jadi buah bibir yang jelek di klub”
Sesaat mereka bertatapan. Kannika mengerti, Adrian bermaksud menolongnya.
“Kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku. Berhati-hatilah kalau bukan keakraban yang wajar”
“Yuk, kita ke depan. Sudah cukup lama kita di sini”, ajak Adrian lembut.
Sebelum tiba di tempat Fonni, mereka berpapasan. Fonni tidak bisa menutupi kekesalannya. Diajaknya Kannika pulang, setelah berbasa basi dengan Adrian.
“Dia memperlihatkan apa?”, Fonni penasaran.
“Tidak ada. Dia mengajakku berbicara”
“Bicara apa?”
“Adrian suka sama aku, dan aku juga sudah lama suka dengan Adrian. Kami jadian. Kasih aku selamat, Fon”, Kannika mengulurkan tangannya. Entah, tiba-tiba Kannika mendapat ide untuk berbicara begitu.
Sesaat Fonni tertegun. Diabaikannya tangan Kannika.
“Malam mingguku tidak sepi lagi, Fon. Sekarang ada Adrian”
“Kannika, aku nggak suka dengan Adrian!”
“Kenapa? Adrian baik, lembut. Maaf ya, Fon. Kita mungkin tidak akan sering-sering lagi bertemu”
Sepanjang perjalanan, Fonni terdiam. Rahangnya mengatup rapat. Otot-otot di tangannya mengeras dan sorot matanya liar. Setelah mengantar Kannika pulang, Fonni langsung pulang. Tidak di dengarnya tawaran Kannika untuk mampir.
Maafkan aku, Fon. Tetapi aku memang tidak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Beginilah cara yang paling baik untuk mengakhiri keakraban yang tidak wajar ini.
******
“Dia itu lesbian tau!”, kata kak Ronald kesal.
“Saya yang paling tahu, Fonni lesbian atau bukan”, Kannika berkata dingin.
“Orang tua saya tidak melarang saya bergaul dengan Fonni. Kalau kak Ronald tidak suka, saya akan keluar dari klub”, Kannika berkata seraya berdiri dan berjalan menuju pintu. Terjawab sudah keanehan-keanehan yang terjadi.
Kannika kecewa, kenapa mereka harus mengeluarkan Fonni dari klub ini. Dan mereka menyuruh Indra antar jemput untuk menjauhkannya dari Fonni.
Sebelum pulang, ditemuinya Adrian.
“Aku tidak latihan sore ini. Aku tunggu kamu di rumah”, setelah berganti pakaian dan mengemasi barang-barangnya Kannika pulang.
Minggu sore itu Adrian hadir di teras rumahnya. Kannika merasa dekat dengan Adrian kini. Ternyata selama ini Adrian diam-diam juga memperhatikannya.
“Klub jadi terasi sepi tanpa kamu”
Kannika tersenyum. Dia tahu pipinya pasti merah saat itu.
“Aku nggak bisa bertahan di klub itu. Kalau Fonni dikeluarkan, saya juga harus dikeluarkan. Fonni baik dengan saya selama ini, walaupun dia.....”, Kannika terdiam, diliriknya Adrian, yang ternyata sedang menatapnya.
“Kalau tidak nyaman, tidak perlu cerita, Kan. Saya bisa menduga apa yang terjadi. Cuma aku pengen tahu, kenapa Fonni jadi jarang main ke sini lagi?”
“Dia marah. Aku bilang, kita pacaran, jadi aku tidak bisa lagi sering-sering bertemu dengannya, karena sudah ada kamu”, Kannika khawatir, ditatapnya Adrian. “Itu cuma alasan saja. Maaf, kalau kamu tidak suka”
Adrian tersenyum, lembut ditatapnya Kannika.
“Aku suka, Kan. Tapi seperti yang pernah aku bilang, kita masih SMU dan aku belum punya apa-apa”
“Aku mengerti, Ad. Kamu perlu tahu, saya juga belum punya apa-apa”, ditatapnya Adrian.
Kannika merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Emosinya begitu terkontrol walaupun usianya tidak terpaut jauh dari dirinya.
Beberapa kali Fonni main ke rumah, Kannika menerimanya dengan baik. Tidak lama kemudian Fonni menghilang tanpa kabar. Hingga suatu hari, Kannika mendengar kabar, setelah lulus SMU, Fonni masuk Susteran Santa Perawan Maria di kota Malang. Sedangkan Adrian diterima di universitas negeri di kota Bandung.
Jakarta, 1981-1982
CINTA
Aya membuka mata. Dikerjap-kerjap sesaat. Matahari pagi menerobos melalui jalusi di atas jendela. Diregangkan badannya yang kaku. Semalam begitu lelap, sehingga mungkin tidur pada satu posisi. Atau bisa juga karena kumpulan lelah dari senin hingga jumat. Aya bangun menuju kamar mandi, hanya untuk buang air kecil, gosok gigi, dan cuci muka. Ini hari sabtu, saatnya bermalas-malasan, termasuk malas mandi. Kemudian mengganti baby dollnya dengan kaos dan celana pendek.
Tergesa disusurinya trotoar menuju pasar tradisional Ubud. Jalan masih lengang, sebagian besar toko di sepanjang jalan Monkey Forest masih tutup. Hanya beberapa sedang mempersiapkan dagangannya. Berbeda dengan pasar Ubud yang sudah dipadati para pembeli.
Dilewatinya lapangan bola Ubud yang penuh dengan sampah. Semalam ada beberapa pertunjukan di situ. Panggung musik, pertunjukan wayang dan tari-tarian. Warga Ubud, tua dan muda, penduduk dan turis, tumplek di situ semalam. Namun Aya lebih suka menonton tari-tarian di istana Ubud. Tidak terlalu ramai, sebagian besar turis. Tari Panyembrama, Oleg Tambulilingan, Kebyar Duduk, Kupu-kupu Tarum, Legong Keraton, Legong Kembar, dan beberapa tarian lain yang sudah sering Aya tonton, tetapi tidak pernah bosan untuk kembali menonton. Tari Oleg Tambulilingan adalah favorite Aya. Tarian yang menggambarkan sepasang kumbang yang sedang bermesraan di taman. Tarian ini menggambarkan laki dan perempuan saling membutuhkan.
Musik yang dihasilkan sekagong (grup penabuh) untuk mengiringi para penari, sebentar terdengar semangat dan gairah, kemudian berubah lembut dan mendayu. Semua indra sang penari bereaksi mengikuti musik. Mata, kepala, tangan, kaki dan tubuh penari menghasilkan gerakan yang selaras, dinamis dan indah.
Sudah 3 bulan Aya pindah ke Denpasar untuk bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah lembaga pendidikan bahasa. Hampir setiap sabtu minggu dihabiskan di Ubud. Untuk menikmati nasi bubuh (bubur nasi) pasar Ubud, tari-tarian di istana Ubud atau sekedar menyusuri trotoar menikmati toko-toko di kiri kanan.
Dipercepat langkahnya. Jangan sampai kehabisan nasi bubuh yang lezat. Para meme (ibu) berjualan sudah sejak pukul 6 pagi tadi. Tiba di pasar, 3 dari 4 meme yang biasa menjajakan makanan matang, sedang dikeroyok para pembelinya. Mereka rela menunggu giliran untuk dilayani dan berdesakan di gang kecil. Kadang harus berdiri lebih rapat lagi, karena ada pedagang lewat membawa meja kecil, penuh dengan barang dagangan, di atas kepalanya.
Meme penjual nasi bubuh melayani para pembeli dengan sigap. Digelarnya dua rangkap daun pisang ditangan kirinya, diatasnya bubur nasi dituang dan diratakan. Diambil sejumput sambal (irisan cabe yang digoreng) dengan tangan kanannya yang kurus, kering dan keriput, diratakan di atas bubur, juga dengan tangannya. Lalu dengan sendok dibuatnya cekungan di atas bubur dan diisi lakar nyuh (santan). Kemudian merauk irisan jukut (sayuran) yang telah diadon dengan lakar nyuh, sambal dan garam, untuk mengisi cekungan. Setelah ditambah kuah lainnya, ditutupnya daun sedemikian rupa, dikunci dengan batang bambu yang diserut serupa lidi, sehingga bubur berkuah tidak tumpah. Seorang pembeli menerima bungkusan nasi bubuh dan meletakan dua lembar ribuan kumal ke atas baskom sayuran. Meme penjual nasi bubuh mencuci tangan di ember kecil di bawah mejanya, dikeringkan dengan serbet lusuh dan mengambil uang, dimasukannya ke dalam laci meja yang sudah penuh lembaran. Kemudian melayani pembeli berikutnya.
Sebagian besar pembeli ibu-ibu yang baru pulang belanja. Ada juga seorang bapak dengan anaknya yang tampak lapar, sehingga merengek tidak sabar menunggu giliran. Seorang nenek mendapat giliran, menyerahkan mangkok dan uang seribu yang kemudian diisi bubur dan disiram lakar nyuh.
“Ne gen (Cuma ini)?”, tanya meme penjual nasi bubuh.
“Kangguang sing lah pipis (tidak ada uang lagi)”
“Dadong nyak jukut, yang ne meli yang (Nenek mau sayur? Ini saya belikan)”, seorang ibu yang kasihan melempar selembar uang ribuan ke atas baskom. Meme penjual kemudian merauk sayuran dan ditaruh di mangkok.
Aya menerima bungkusan buburnya tak lama kemudian. Lalu dibelinya ketan hitam dan serabi yang dicampur parutan kelapa dan disiram kuah gula merah. Aya belum selesai, dimasukinya pasar menuju penjual makanan dari tuna. Sesaat Aya bingung memilih antara sate dan pepes tuna untuk makan paginya. Akhirnya dibelinya 5 tusuk sate tuna. Kemudian Aya kembali menyusuri trotoar, menuju hotelnya di jalan Monkey Forest. Hotel untuk backpakers. Bersih, aman dan yang jelas murah.
Seminggu terakhir ini, Arry membujuknya untuk kembali ke Jakarta. Pemuda yang telah mengisi hatinya lebih dari 2 tahun. Aya sedang berusaha keras untuk melupakannya. Kuncup cinta yang telah tumbuh dan berakar selama 2 tahun harus dimusnahkan. Hubungannya dengan Arry tidak jelas muaranya.
Pagi itu turun dari metromini, Aya berjalan secepat menuju kantornya, dilihatnya awan gelap menyelimuti langit Jakarta. Setengah berlari Aya menyebrangi jembatan. Namun di tengah jembatan, hujan turun dengan lebat. Aya tiba di kantor Satpam, basah kuyup. Terpaksa dia harus berteduh di situ, antara kantor satpam dan kantornya masih 10 meter lagi. Tiba-tiba dering SMS ponselnya berbunyi.
“Dimana?”, sebuah nomor tidak dikenal menyapanya.
“Siapa ini? Aku sedang berteduh di kantor satpam, basah kuyup”
“Ini Arry. Kasihan jeng Aya”, Aya terlonjak kaget sekaligus gembira. Arry, pemuda yang belakangan ini menyita pikirannya tiba-tiba muncul setelah menghilang beberapa bulan.
“Kemana saja?”, reply Aya.
“Iya nih, aku kangen”, Arry aku juga rindu sekali denganmu.
Selanjutnya mereka sering bertemu. Jika tidak bisa bertemu, SMS atau email tidak pernah berhenti sebagai obat rindu.
“Aku bukan laki-laki yang romantis”, suatu hari di cafe sunset. Cafe kecil yang letaknya tersembunyi ke dalam, memiliki pemandangan yang indah ke arah gunung salak. Hujan turun rintik-rintik saat itu. Sepiring pisang goreng, teh tawar dan kopi hangat terhidang di depan mereka. Udara cukup dingin saat itu. Tapi suasana menghangatkan keduanya.
Aya bisa merasakan kasih sayang Arry, walaupun dia bukan pemuda yang ekspresif. Berbeda dengan pacarnya Femi, teman satu kantor, yang sering menghujani Femi dengan kata sayang, nyaris setiap hari. Antar jemput Femi ke tempat kerja, belum lagi acara Femi yang lain. Tetapi memang hubungan mereka tidak ditentang orang tua kedua belah pihak.
“Aku merasa nyaman di dekatmu, Ar. Ini kurasakan sejak pertama kali kita bertemu. Dan aku tetap nyaman, walaupun kamu tidak romantis”, dipandangnya wajah Arry. Teman-teman meledeknya hitaci, hitam tapi Cina. Banyak orang tidak menyangka dia pemuda keturunan Cina. Bila tertawa, matanya menjadi lebih sipit, terlihat wajah Cinanya.
“Apakah kamu sayang aku, Ar?”
“Sayang tidak untuk dikatakan. Tapi dirasakan. Apakah kamu tidak merasakan Aya?
Saat aku pertama kali mengantarmu pulang dulu dan kuceritakan tentang diriku. Kalau tidak ada apa-apa, untuk apa aku mengantarmu pulang dan bercerita tentang aku?”
Dibantingnya sendok, buyarlah kenangan manis yang menguasai pikiran Aya. Bubur sayur sudah disantapnya habis, begitu juga ketan hitam dan serabi. Wajah Arry selalu hadir di angannya, ini membuat Aya kesal. Bagaimana bisa melupakannya kalau bayangannya selalu hadir?
Aku merindukan dan menyayanginya, sebenarnya aku juga merasakan kerinduan Arry walaupun dia seperti tidak peduli. Mungkin Arry ingin menjaga perasaan mamanya, sehingga sejak hubungan ini diketahui mamanya setahun yang lalu, Arry seperti membatasi pertemuan dengan Aya. Hari gini masih ada orang tua yang mempersoalkan suku seseorang untuk menjadi menantunya, pikir Aya sedih.
“Papa pergi sejak aku masih SMP. Sejak papa meninggal, aku tidur menemani mama. Aku sering melihat mama menangis malam-malam. Mungkin dia merindukan papa atau merasakan berat harus membimbing dan menghidupi 5 anak sendirian. Saat itu aku tidak mengerti dan bingung apa yang harus kulakukan, jadi aku diam saja.
Sebagai perawat, pendapatan mama tidak terlalu besar, sehingga supaya aku bisa melanjutkan sekolah ke universitas. Aku dan mama mencari bantuan dana ke saudara lain. Untungnya anak-anak mama otaknya cemerlang, sehingga kecuali seorang kakak perempuan, kami semua bisa masuk universitas negeri. Kakak perempuan tidak melanjutkan sekolah, karena harus membantu keuangan keluarga. Dia kakak yang paling dekat denganku. Mama ingin aku bisa menikah dengan gadis keturunan juga. Beliau khawatir, jika menantunya seorang pribumi tidak bisa mengerti keluarga kami”
“Kamu sudah mengenalku cukup lama, Ar. Menurutmu apakah aku akan sulit beradaptasi dengan keluargamu?”
“Aya, pelan-pelan aku akan membuat mama mengerti”
Tetapi Arry terlalu pelan. Sudah sekian lama, mama Arry masih menolaknya. Sehingga pertemuan harus dilakukan diam-diam. Atau pertemuan batal karena bentrok dengan acara mamanya Arry. Walaupun anaknya lima, mamanya Arry nampaknya lebih suka kemana-mana diantar Arry. Ke pasar, arisan keluarga atau ke kuburan papa Arry. Wajar saja, karena memang tinggal dua orang yang masih di rumah, dan tinggal Arry yang belum berkeluarga.
Akhir-akhir ini Arry jarang menghubunginya. Pekerjaannya sepertinya menyita waktu. Aya begitu rindu ingin bertemu, tidak sekedar tahu kabar lewat SMS atau email. Tapi Arry nampaknya lebih fokus pada pekerjaannya. Mungkin dia sedikit demi sedikit ingin menjauhi saya, karena hubungan yang tidak jelas ini, air mata mengambang. Aya sakit hati. Namun ketika bertemu, rasa rindu yang menyesakan melupakan kemarahan. Terlalu berharga waktu yang ada digunakan untuk bertengkar.
Mengapa mama Arry tidak menyukai dirinya? Aya tidak tahu. Tidakkah mama Arry tahu banyak perkawinan beda suku bahkan beda bangsa, tapi berjalan baik-baik saja. Apa yang ditakutkan sebenarnya, jika anaknya menikah dengan pribumi. Jika khawatir Aya tidak bisa mengerti keluarga mereka, mungkin ada satu rahasia keluarga yang masih disimpan, terhadap Arry anaknya sekalipun. Atau mungkin Arry sudah tahu, tetapi enggan bercerita dengannya. Waktu 2 tahun, seharusnya sudah cukup buat Arry untuk meyakinkan mamanya, gadis seperti apa dirinya.
Apakah mama Arry dendam karena peristiwa-peristiwa kerusuhan anti Cina yang selalu terjadi berulang. Namun setahu Aya, keluarga Arry sudah menyatu dengan penduduk sekitar mereka tinggal, bahkan mereka menggunakan bahasa setempat untuk komunikasi baik di dalam keluarga maupun dengan orang-orang di sekitar mereka. Anak-anak dan cucu-cucu keluarga itu pun sudah tidak menggunakan nama-nama Cina.
Arry pernah cerita, saat dia berusia 3 tahun, sekitar tahun 80-an, oom sekeluarga yang tinggal di Solo tiba-tiba datang. Mama, papa dan oom bertangis-tangisan ketika bertemu. Selanjutnya Oom sekeluarga tinggal di rumah keluarga Arry beberapa tahun, setelah itu mereka sekeluarga pindah ke Bandung. Setelah mereka pergi, Arry baru mengerti kalau toko oom di Solo dijarah dan dibakar.
Ketika kerusuhan tahun 1998 melanda Jakarta, para perusuh sama sekali tidak mengganggu mereka. Teman-teman dekat Arry dan tetangga dekat yang pribumi berkumpul di rumah Arry saat itu, ikut menjaga rumah dan keluarga itu. Hingga kini rasanya tidak ada usaha yang nyata dari pihak pemerintah ataupun lembaga-lembaga terkait sehingga peristiwa-peristiwa kerusuhan setiap saat bisa terulang lagi. Beberapa etnis Cina beranggapan kalau bangsa pribumi pemalas, brutal dan jahat. Sebaliknya etnis pribumi sering beranggapan orang Cina pelit, curang dan serakah. Fenomena ini seperti benang kusut sehingga diperlukan kesabaran dan kecerdasan untuk mengurainya sedikit demi sedikit, dan juga cinta, cinta terhadap sesama akan menghapus kemarahan dan kecurigaan.
Rasanya, aku bukan orang yang pemalas. Seperti orang lain, yang Cina atau bukan Cina, aku sekolah kemudian bekerja. Walaupun buatku materi itu penting, rasanya aku tidak matre. Lagipula keluarga Arry bukanlah keluarga yang kaya raya yang hartanya bisa jadi sasaran. Aku suka Arry salah satunya karena kesederhanaannya. Teman-teman menyayanginya karena empatinya pada penderitaan orang lain. Dalam kondisi materi yang tidak banyak, Arry rela merelakan uangnya untuk teman atau saudara yang kesulitan.
Bisa jadi orang tua Arry sudah menjodohkannya dengan gadis yang masih keluarga sejak Arry masih kecil. Dan perjodohan itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. Apalagi papa Arry sudah meninggal. Ini adalah pesan dari orang yang sudah meninggal. Tapi Arry tidak pernah cerita. Dia tidak ingin menyakitiku? Mungkin saat ini Arry sedang mempertimbangkan untuk menerima perjodohan itu. Arry sangat menyayangi mamanya, dia tidak mau menyakitinya, karena sudah membesarkannya dengan susah payah. Hati Aya terasa sakit. Aya menangis.
Seharusnya Arry tegas saja, sehingga dia tidak terombang-ambing seperti ini. Jika Arry tidak bisa tegas, maka dirinyalah yang harus tegas. Ketika sebuah lembaga pendidikan bahasa mencari tenaga administrasi untuk ditempatkan di Denpasar. Tanpa berpikir panjang Aya melamar. Tak disangka dirinya lulus serangkaian proses penerimaan. Buat Aya bekerja dikota mana pun tidak menjadi masalah, karena memang sejak sekolah dia jauh dari orang tua.
Aya tidak perlu minta pertimbangan Arry untuk menerima kesempatan kerja di pulau dewata. Ini adalah kesempatan untuk menjauh darinya. Mudah-mudahan aku segera bisa melupakannya. Ketika Arry sangat marah karena diabaikan. Aya berterus terang bahwa dia lelah dengan hubungan yang tidak berujung ini. Sementara Arry seperti tidak peduli, mencari kesibukan sendiri.
Arry berkenan mengantarnya ke bandara. Aya ragu untuk pergi. Terasa juga olehnya kegundahan hati Arry. Terakhir Aya menengok kebelakang, dilihatnya pemuda hitaci itu mengusap matanya. Kata orang, cinta tidak harus memiliki. Tetapi betapa pahit cinta yang tidak termiliki. Dikuatkan hatinya ketika menapaki tangga pesawat yang akan membawanya ke pulau dewata. Aya menangis.
Kepergiannya adalah usaha untuk melupakan cintanya. Setiap sudut kota mengingatkan kenangan dengan Arry, bahkan baju-bajunya pun mengingatkan Aya suatu peristiwa. Blus ungu polos ini, saat pertama Arry membawa Aya ke rumahnya dan rumahnya kosong. Arry membawa Aya ke ruang kerjanya di lantai dua, mungil tapi cukup nyaman. Saat itu, tiba-tiba Arry memeluknya dan berbisik dia rindu. Mereka pelukan dan ciuman lama sekali dan baru berhenti setelah tubuh keduanya gerah dan berkeringat.
Tiga bulan sudah Aya tinggal di Denpasar. Tapi Arry masih tetap tinggal di sudut hatinya yang terdalam. Bayangan Arry kerap mengunjunginya. Aya sudah pergi beratus-ratus kilometer dari Arry. Tetapi sangat sulit melupakan pemuda yang sudah sekian lama mengisi hatinya. Sesungguhnya dia merasa sepi. Ada cinta yang besar untuk Arry, Arry yang tidak romantis, yang terkadang tidak peduli. Aya menangis. Bukankah cinta itu seharusnya manis. Tetapi kenapa cintanya terasa pahit.
“Aku ingin kamu kembali, aku merindukanmu”, SMS Arry. Kata-kata yang sama yang kesekian dalam minggu ini. Aya menangis.
“Untuk apa? Aku bekerja di sini. Keadaan tidak akan berubah jika aku kembali”
“Pulanglah Aya. Carilah kerja di sini, kita hadapi masalah ini bersama. Maafkan sikapku sebelumnya. Saya menyesal, Aya. Seharusnya hubungan kita kokohkan untuk menghadapi masalah ini”
“Apakah kamu sayang aku, Ar?”
“Iya, sangat. Aku rindu, Aya”
Aya menangis. Aku mencintaimu, Arry. Aku ingin mama tahu, bahwa aku punya cinta yang besar untuk anaknya dan seluruh keluarga.
Aku akan pulang Arry, sesungguhnya aku tidak bisa jauh darimu..................
Ubud, 25-30 September 2007
Tergesa disusurinya trotoar menuju pasar tradisional Ubud. Jalan masih lengang, sebagian besar toko di sepanjang jalan Monkey Forest masih tutup. Hanya beberapa sedang mempersiapkan dagangannya. Berbeda dengan pasar Ubud yang sudah dipadati para pembeli.
Dilewatinya lapangan bola Ubud yang penuh dengan sampah. Semalam ada beberapa pertunjukan di situ. Panggung musik, pertunjukan wayang dan tari-tarian. Warga Ubud, tua dan muda, penduduk dan turis, tumplek di situ semalam. Namun Aya lebih suka menonton tari-tarian di istana Ubud. Tidak terlalu ramai, sebagian besar turis. Tari Panyembrama, Oleg Tambulilingan, Kebyar Duduk, Kupu-kupu Tarum, Legong Keraton, Legong Kembar, dan beberapa tarian lain yang sudah sering Aya tonton, tetapi tidak pernah bosan untuk kembali menonton. Tari Oleg Tambulilingan adalah favorite Aya. Tarian yang menggambarkan sepasang kumbang yang sedang bermesraan di taman. Tarian ini menggambarkan laki dan perempuan saling membutuhkan.
Musik yang dihasilkan sekagong (grup penabuh) untuk mengiringi para penari, sebentar terdengar semangat dan gairah, kemudian berubah lembut dan mendayu. Semua indra sang penari bereaksi mengikuti musik. Mata, kepala, tangan, kaki dan tubuh penari menghasilkan gerakan yang selaras, dinamis dan indah.
Sudah 3 bulan Aya pindah ke Denpasar untuk bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah lembaga pendidikan bahasa. Hampir setiap sabtu minggu dihabiskan di Ubud. Untuk menikmati nasi bubuh (bubur nasi) pasar Ubud, tari-tarian di istana Ubud atau sekedar menyusuri trotoar menikmati toko-toko di kiri kanan.
Dipercepat langkahnya. Jangan sampai kehabisan nasi bubuh yang lezat. Para meme (ibu) berjualan sudah sejak pukul 6 pagi tadi. Tiba di pasar, 3 dari 4 meme yang biasa menjajakan makanan matang, sedang dikeroyok para pembelinya. Mereka rela menunggu giliran untuk dilayani dan berdesakan di gang kecil. Kadang harus berdiri lebih rapat lagi, karena ada pedagang lewat membawa meja kecil, penuh dengan barang dagangan, di atas kepalanya.
Meme penjual nasi bubuh melayani para pembeli dengan sigap. Digelarnya dua rangkap daun pisang ditangan kirinya, diatasnya bubur nasi dituang dan diratakan. Diambil sejumput sambal (irisan cabe yang digoreng) dengan tangan kanannya yang kurus, kering dan keriput, diratakan di atas bubur, juga dengan tangannya. Lalu dengan sendok dibuatnya cekungan di atas bubur dan diisi lakar nyuh (santan). Kemudian merauk irisan jukut (sayuran) yang telah diadon dengan lakar nyuh, sambal dan garam, untuk mengisi cekungan. Setelah ditambah kuah lainnya, ditutupnya daun sedemikian rupa, dikunci dengan batang bambu yang diserut serupa lidi, sehingga bubur berkuah tidak tumpah. Seorang pembeli menerima bungkusan nasi bubuh dan meletakan dua lembar ribuan kumal ke atas baskom sayuran. Meme penjual nasi bubuh mencuci tangan di ember kecil di bawah mejanya, dikeringkan dengan serbet lusuh dan mengambil uang, dimasukannya ke dalam laci meja yang sudah penuh lembaran. Kemudian melayani pembeli berikutnya.
Sebagian besar pembeli ibu-ibu yang baru pulang belanja. Ada juga seorang bapak dengan anaknya yang tampak lapar, sehingga merengek tidak sabar menunggu giliran. Seorang nenek mendapat giliran, menyerahkan mangkok dan uang seribu yang kemudian diisi bubur dan disiram lakar nyuh.
“Ne gen (Cuma ini)?”, tanya meme penjual nasi bubuh.
“Kangguang sing lah pipis (tidak ada uang lagi)”
“Dadong nyak jukut, yang ne meli yang (Nenek mau sayur? Ini saya belikan)”, seorang ibu yang kasihan melempar selembar uang ribuan ke atas baskom. Meme penjual kemudian merauk sayuran dan ditaruh di mangkok.
Aya menerima bungkusan buburnya tak lama kemudian. Lalu dibelinya ketan hitam dan serabi yang dicampur parutan kelapa dan disiram kuah gula merah. Aya belum selesai, dimasukinya pasar menuju penjual makanan dari tuna. Sesaat Aya bingung memilih antara sate dan pepes tuna untuk makan paginya. Akhirnya dibelinya 5 tusuk sate tuna. Kemudian Aya kembali menyusuri trotoar, menuju hotelnya di jalan Monkey Forest. Hotel untuk backpakers. Bersih, aman dan yang jelas murah.
Seminggu terakhir ini, Arry membujuknya untuk kembali ke Jakarta. Pemuda yang telah mengisi hatinya lebih dari 2 tahun. Aya sedang berusaha keras untuk melupakannya. Kuncup cinta yang telah tumbuh dan berakar selama 2 tahun harus dimusnahkan. Hubungannya dengan Arry tidak jelas muaranya.
Pagi itu turun dari metromini, Aya berjalan secepat menuju kantornya, dilihatnya awan gelap menyelimuti langit Jakarta. Setengah berlari Aya menyebrangi jembatan. Namun di tengah jembatan, hujan turun dengan lebat. Aya tiba di kantor Satpam, basah kuyup. Terpaksa dia harus berteduh di situ, antara kantor satpam dan kantornya masih 10 meter lagi. Tiba-tiba dering SMS ponselnya berbunyi.
“Dimana?”, sebuah nomor tidak dikenal menyapanya.
“Siapa ini? Aku sedang berteduh di kantor satpam, basah kuyup”
“Ini Arry. Kasihan jeng Aya”, Aya terlonjak kaget sekaligus gembira. Arry, pemuda yang belakangan ini menyita pikirannya tiba-tiba muncul setelah menghilang beberapa bulan.
“Kemana saja?”, reply Aya.
“Iya nih, aku kangen”, Arry aku juga rindu sekali denganmu.
Selanjutnya mereka sering bertemu. Jika tidak bisa bertemu, SMS atau email tidak pernah berhenti sebagai obat rindu.
“Aku bukan laki-laki yang romantis”, suatu hari di cafe sunset. Cafe kecil yang letaknya tersembunyi ke dalam, memiliki pemandangan yang indah ke arah gunung salak. Hujan turun rintik-rintik saat itu. Sepiring pisang goreng, teh tawar dan kopi hangat terhidang di depan mereka. Udara cukup dingin saat itu. Tapi suasana menghangatkan keduanya.
Aya bisa merasakan kasih sayang Arry, walaupun dia bukan pemuda yang ekspresif. Berbeda dengan pacarnya Femi, teman satu kantor, yang sering menghujani Femi dengan kata sayang, nyaris setiap hari. Antar jemput Femi ke tempat kerja, belum lagi acara Femi yang lain. Tetapi memang hubungan mereka tidak ditentang orang tua kedua belah pihak.
“Aku merasa nyaman di dekatmu, Ar. Ini kurasakan sejak pertama kali kita bertemu. Dan aku tetap nyaman, walaupun kamu tidak romantis”, dipandangnya wajah Arry. Teman-teman meledeknya hitaci, hitam tapi Cina. Banyak orang tidak menyangka dia pemuda keturunan Cina. Bila tertawa, matanya menjadi lebih sipit, terlihat wajah Cinanya.
“Apakah kamu sayang aku, Ar?”
“Sayang tidak untuk dikatakan. Tapi dirasakan. Apakah kamu tidak merasakan Aya?
Saat aku pertama kali mengantarmu pulang dulu dan kuceritakan tentang diriku. Kalau tidak ada apa-apa, untuk apa aku mengantarmu pulang dan bercerita tentang aku?”
Dibantingnya sendok, buyarlah kenangan manis yang menguasai pikiran Aya. Bubur sayur sudah disantapnya habis, begitu juga ketan hitam dan serabi. Wajah Arry selalu hadir di angannya, ini membuat Aya kesal. Bagaimana bisa melupakannya kalau bayangannya selalu hadir?
Aku merindukan dan menyayanginya, sebenarnya aku juga merasakan kerinduan Arry walaupun dia seperti tidak peduli. Mungkin Arry ingin menjaga perasaan mamanya, sehingga sejak hubungan ini diketahui mamanya setahun yang lalu, Arry seperti membatasi pertemuan dengan Aya. Hari gini masih ada orang tua yang mempersoalkan suku seseorang untuk menjadi menantunya, pikir Aya sedih.
“Papa pergi sejak aku masih SMP. Sejak papa meninggal, aku tidur menemani mama. Aku sering melihat mama menangis malam-malam. Mungkin dia merindukan papa atau merasakan berat harus membimbing dan menghidupi 5 anak sendirian. Saat itu aku tidak mengerti dan bingung apa yang harus kulakukan, jadi aku diam saja.
Sebagai perawat, pendapatan mama tidak terlalu besar, sehingga supaya aku bisa melanjutkan sekolah ke universitas. Aku dan mama mencari bantuan dana ke saudara lain. Untungnya anak-anak mama otaknya cemerlang, sehingga kecuali seorang kakak perempuan, kami semua bisa masuk universitas negeri. Kakak perempuan tidak melanjutkan sekolah, karena harus membantu keuangan keluarga. Dia kakak yang paling dekat denganku. Mama ingin aku bisa menikah dengan gadis keturunan juga. Beliau khawatir, jika menantunya seorang pribumi tidak bisa mengerti keluarga kami”
“Kamu sudah mengenalku cukup lama, Ar. Menurutmu apakah aku akan sulit beradaptasi dengan keluargamu?”
“Aya, pelan-pelan aku akan membuat mama mengerti”
Tetapi Arry terlalu pelan. Sudah sekian lama, mama Arry masih menolaknya. Sehingga pertemuan harus dilakukan diam-diam. Atau pertemuan batal karena bentrok dengan acara mamanya Arry. Walaupun anaknya lima, mamanya Arry nampaknya lebih suka kemana-mana diantar Arry. Ke pasar, arisan keluarga atau ke kuburan papa Arry. Wajar saja, karena memang tinggal dua orang yang masih di rumah, dan tinggal Arry yang belum berkeluarga.
Akhir-akhir ini Arry jarang menghubunginya. Pekerjaannya sepertinya menyita waktu. Aya begitu rindu ingin bertemu, tidak sekedar tahu kabar lewat SMS atau email. Tapi Arry nampaknya lebih fokus pada pekerjaannya. Mungkin dia sedikit demi sedikit ingin menjauhi saya, karena hubungan yang tidak jelas ini, air mata mengambang. Aya sakit hati. Namun ketika bertemu, rasa rindu yang menyesakan melupakan kemarahan. Terlalu berharga waktu yang ada digunakan untuk bertengkar.
Mengapa mama Arry tidak menyukai dirinya? Aya tidak tahu. Tidakkah mama Arry tahu banyak perkawinan beda suku bahkan beda bangsa, tapi berjalan baik-baik saja. Apa yang ditakutkan sebenarnya, jika anaknya menikah dengan pribumi. Jika khawatir Aya tidak bisa mengerti keluarga mereka, mungkin ada satu rahasia keluarga yang masih disimpan, terhadap Arry anaknya sekalipun. Atau mungkin Arry sudah tahu, tetapi enggan bercerita dengannya. Waktu 2 tahun, seharusnya sudah cukup buat Arry untuk meyakinkan mamanya, gadis seperti apa dirinya.
Apakah mama Arry dendam karena peristiwa-peristiwa kerusuhan anti Cina yang selalu terjadi berulang. Namun setahu Aya, keluarga Arry sudah menyatu dengan penduduk sekitar mereka tinggal, bahkan mereka menggunakan bahasa setempat untuk komunikasi baik di dalam keluarga maupun dengan orang-orang di sekitar mereka. Anak-anak dan cucu-cucu keluarga itu pun sudah tidak menggunakan nama-nama Cina.
Arry pernah cerita, saat dia berusia 3 tahun, sekitar tahun 80-an, oom sekeluarga yang tinggal di Solo tiba-tiba datang. Mama, papa dan oom bertangis-tangisan ketika bertemu. Selanjutnya Oom sekeluarga tinggal di rumah keluarga Arry beberapa tahun, setelah itu mereka sekeluarga pindah ke Bandung. Setelah mereka pergi, Arry baru mengerti kalau toko oom di Solo dijarah dan dibakar.
Ketika kerusuhan tahun 1998 melanda Jakarta, para perusuh sama sekali tidak mengganggu mereka. Teman-teman dekat Arry dan tetangga dekat yang pribumi berkumpul di rumah Arry saat itu, ikut menjaga rumah dan keluarga itu. Hingga kini rasanya tidak ada usaha yang nyata dari pihak pemerintah ataupun lembaga-lembaga terkait sehingga peristiwa-peristiwa kerusuhan setiap saat bisa terulang lagi. Beberapa etnis Cina beranggapan kalau bangsa pribumi pemalas, brutal dan jahat. Sebaliknya etnis pribumi sering beranggapan orang Cina pelit, curang dan serakah. Fenomena ini seperti benang kusut sehingga diperlukan kesabaran dan kecerdasan untuk mengurainya sedikit demi sedikit, dan juga cinta, cinta terhadap sesama akan menghapus kemarahan dan kecurigaan.
Rasanya, aku bukan orang yang pemalas. Seperti orang lain, yang Cina atau bukan Cina, aku sekolah kemudian bekerja. Walaupun buatku materi itu penting, rasanya aku tidak matre. Lagipula keluarga Arry bukanlah keluarga yang kaya raya yang hartanya bisa jadi sasaran. Aku suka Arry salah satunya karena kesederhanaannya. Teman-teman menyayanginya karena empatinya pada penderitaan orang lain. Dalam kondisi materi yang tidak banyak, Arry rela merelakan uangnya untuk teman atau saudara yang kesulitan.
Bisa jadi orang tua Arry sudah menjodohkannya dengan gadis yang masih keluarga sejak Arry masih kecil. Dan perjodohan itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. Apalagi papa Arry sudah meninggal. Ini adalah pesan dari orang yang sudah meninggal. Tapi Arry tidak pernah cerita. Dia tidak ingin menyakitiku? Mungkin saat ini Arry sedang mempertimbangkan untuk menerima perjodohan itu. Arry sangat menyayangi mamanya, dia tidak mau menyakitinya, karena sudah membesarkannya dengan susah payah. Hati Aya terasa sakit. Aya menangis.
Seharusnya Arry tegas saja, sehingga dia tidak terombang-ambing seperti ini. Jika Arry tidak bisa tegas, maka dirinyalah yang harus tegas. Ketika sebuah lembaga pendidikan bahasa mencari tenaga administrasi untuk ditempatkan di Denpasar. Tanpa berpikir panjang Aya melamar. Tak disangka dirinya lulus serangkaian proses penerimaan. Buat Aya bekerja dikota mana pun tidak menjadi masalah, karena memang sejak sekolah dia jauh dari orang tua.
Aya tidak perlu minta pertimbangan Arry untuk menerima kesempatan kerja di pulau dewata. Ini adalah kesempatan untuk menjauh darinya. Mudah-mudahan aku segera bisa melupakannya. Ketika Arry sangat marah karena diabaikan. Aya berterus terang bahwa dia lelah dengan hubungan yang tidak berujung ini. Sementara Arry seperti tidak peduli, mencari kesibukan sendiri.
Arry berkenan mengantarnya ke bandara. Aya ragu untuk pergi. Terasa juga olehnya kegundahan hati Arry. Terakhir Aya menengok kebelakang, dilihatnya pemuda hitaci itu mengusap matanya. Kata orang, cinta tidak harus memiliki. Tetapi betapa pahit cinta yang tidak termiliki. Dikuatkan hatinya ketika menapaki tangga pesawat yang akan membawanya ke pulau dewata. Aya menangis.
Kepergiannya adalah usaha untuk melupakan cintanya. Setiap sudut kota mengingatkan kenangan dengan Arry, bahkan baju-bajunya pun mengingatkan Aya suatu peristiwa. Blus ungu polos ini, saat pertama Arry membawa Aya ke rumahnya dan rumahnya kosong. Arry membawa Aya ke ruang kerjanya di lantai dua, mungil tapi cukup nyaman. Saat itu, tiba-tiba Arry memeluknya dan berbisik dia rindu. Mereka pelukan dan ciuman lama sekali dan baru berhenti setelah tubuh keduanya gerah dan berkeringat.
Tiga bulan sudah Aya tinggal di Denpasar. Tapi Arry masih tetap tinggal di sudut hatinya yang terdalam. Bayangan Arry kerap mengunjunginya. Aya sudah pergi beratus-ratus kilometer dari Arry. Tetapi sangat sulit melupakan pemuda yang sudah sekian lama mengisi hatinya. Sesungguhnya dia merasa sepi. Ada cinta yang besar untuk Arry, Arry yang tidak romantis, yang terkadang tidak peduli. Aya menangis. Bukankah cinta itu seharusnya manis. Tetapi kenapa cintanya terasa pahit.
“Aku ingin kamu kembali, aku merindukanmu”, SMS Arry. Kata-kata yang sama yang kesekian dalam minggu ini. Aya menangis.
“Untuk apa? Aku bekerja di sini. Keadaan tidak akan berubah jika aku kembali”
“Pulanglah Aya. Carilah kerja di sini, kita hadapi masalah ini bersama. Maafkan sikapku sebelumnya. Saya menyesal, Aya. Seharusnya hubungan kita kokohkan untuk menghadapi masalah ini”
“Apakah kamu sayang aku, Ar?”
“Iya, sangat. Aku rindu, Aya”
Aya menangis. Aku mencintaimu, Arry. Aku ingin mama tahu, bahwa aku punya cinta yang besar untuk anaknya dan seluruh keluarga.
Aku akan pulang Arry, sesungguhnya aku tidak bisa jauh darimu..................
Ubud, 25-30 September 2007
RARAS
Pagi ini, Raras membangunkan tidurku yang lelap dan menyerahkan selembar kertas terlipat yang bertuliskan, untuk ibu di depannya. Perlahan kubuka kertas pemberian Raras.
12 September 2007
Ibu...
Datang ya ke pesta ultah Raras
Hari ini di kamar Raras, jam 8 malam
Cium Sayang,
Raras
Aku tersenyum membaca undangan dari Raras, anakku yang kedua. Hari ini dia menyebarkan undangan untuk semua penghuni rumah untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 10. Rupanya ia ingin mengulang lagi kesuksesan pesta ulang tahunnya tahun lalu. Saat itu pun ia mengundang seluruh penghuni rumah ke kamarnya. Waktu begitu cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin aku merayakan ulang tahun Raras yang ke 9 dikamarnya.
Aku dan kedua anakku yang lain dan juga Yanti, yang bekerja membantuku mengurus anak-anak, menunggu sambil menonton TV. Ninis, anakku yang pertama pun tampak sudah tidak sabar. Dia pun ingin tahu, apa yang direncanakan Raras untuk pesta ulang tahunnya. Dicobanya mengintip dari lubang kunci, tetapi rupanya Raras menaruh sesuatu di pegangan pintu sehingga pandangan dari lubang kunci terhalang.
“Ade ada-ada aja. Pesta ulang tahun kok di kamar dan cuma ngundang orang serumah”, kata Ninis geli.
Dirumah Raras biasa dipanggil Ade. Mungkin dia satu-satunya anak yang punya banyak nama panggilan. Nama lengkapnya, Luh Saraswati Pandyaningrum. Di sekolah sebagian temannya memangil Raras. Guru-guru dan beberapa orang temannya memanggil Luh. Teman-temannya di sanggar tari memanggil Saras. Beberapa orang tua dari teman-temannya di sanggar tari memanggilnya Laras. Kata Raras, walaupun sudah dikoreksi beberapa kali bahwa namanya Raras, tetap mereka memanggilnya Laras. Adik laki-lakinya, Angga, memanggilnya mbak Lalas. Sampai sekarang walaupun sudah bisa menyebut huruf R, karena kebiasaan sejak kecil tetap menyebutnya mbak Lalas. Aku sendiri juga suka ikut-ikutan memanggil Lalas, sehingga nama itu tidak hilang sampai sekarang.
Diantara ketiga anakku, bayi Raras lah yang paling tidak merepotkan, sehingga hanya sedikit yang bisa di kenang saat Raras kecil. Yang bisa kuceritakan ke Raras hanyalah saat-saat kelahirannya saja. Bayi Raras harus sesegera mungkin dilahirkan karena kondisi gawat janin. Saat masuk ke ruang operasi, kondisi mentalku sangat tertekan, karena khawatir ada apa-apa dengan bayiku. Setelah bayi dikeluarkan, kondisiku agak gawat. Malam itu di ruang pemulihan, yang aku ingat, aku seperti berjalan di lorong yang panjang dan tak berujung dan menggigil kedinginan. Ketika terbangun keesokan harinya, pasien di sebelah tempat tidurku cerita, sepanjang malam itu aku terus mengigau, sehingga dua orang suster berjaga di samping tempat tidurku. Katanya, para suster sempet panik ketika tekanan darahku tiba-tiba anjlok.
Selebihnya Raras adalah bayi yang menyenangkan. Bayi Raras hampir tidak pernah rewel dan minumnya banyak sehingga tubuhnya gemuk dan menggemaskan. Kulitnya putih bersih dan pipinya gembil, membuat gemas orang-orang yang melihatnya.
Nama Raras berasal dari bahasa jawa kuno yang artinya cantik. Rasanya pas sekali memanggilnya Raras. Selain cantik, Raras tumbuh menjadi pribadi yang sederhana. Jika aku punya uang lebih, terkadang ingin menyenangkan hatinya dengan membelikan sesuatu yang Raras inginkan. Namun Raras selalu bingung, dia pernah katakan bahwa segala keperluannya sudah terpenuhi sehingga dia tidak menginginkan apa-apa lagi. Ah, Raras...
Ketika usia 4 tahun aku memasukan Raras ke sanggar tari bali dekat rumah. Hingga kini, buat Raras, menari bukan sekedar hobby tetapi juga kebutuhan. Katanya kepala pusing kalau lama tidak menari. Karena keseriusannya menekuni tari Bali, Raras menjadi anggota di 2 sanggar tari bali. Raras tidak mau meninggalkan sanggarnya yang lama karena dia tidak mau berpisah dengan teman-temannya yang dikenalnya sejak usia 4 tahun.
Beberapa predikat juara tari pun telah berhasil di raihnya. Raras bertubuh mungil dan langsing. Tubuhnya luwes bila sedang menari. Raras memang berbakat menari. Akupun membelikannya beberapa pakaian tari bali, sehingga jika Raras akan tampil tidak repot-repot lagi menyewa pakaian tari.
Untuk menjaga staminanya, seminggu 2-3 kali Raras berlatih renang. Raras menyadari, sebagai penari dia harus memiliki fisik yang prima. Untuk tampil menari yang hanya 5-10 menit saja, Raras harus mempersiapkan diri 3-4 jam sebelumnya, untuk berdandan dan mengenakan pakaian tari.
Ketika Raras mulai bersekolah, aku tidak perlu repot-repot mengajarkannya membaca dan menulis. Saat aku mengajari kakaknya membaca, menulis atau berhitung, diam-diam Raras ikut mendengarkan, sehingga tiba-tiba saja dia sudah bisa membaca majalah.
Tiba-tiba saja pintu kamar Raras terbuka. Dengan riang Raras memanggil kami masuk karena pesta akan segera di mulai. Berebutan kami masuk ke kamar Raras, ingin melihat apa yang dia persiapkan untuk pesta ulang tahunnya.
Raras menyiapkan makanan kecil di piring-piring yang ditaruh di meja belajarnya. Makanannya hanya 2 macam, keripik kentang dan permen. Minumannya air putih yang sudah di tuang di beberapa gelas. Raras mempersilahkan kami semua duduk di atas tempat tidur, sedangkan dia berdiri di depan kami. Kemudian Raras mengeluarkan selembar kertas yang ternyata daftar acara.
“Terima kasih ya buat ibu, mbak ninis, adik Angga dan mbak Yanti yang sudah hadir di pesta Raras”, kata Raras sambil tersenyum manis. “Raras ingin semua mendoakan Raras, supaya Raras sehat dan pintar”, kami semua menundukan kepala dan berdoa untuk Raras.
“Acara selanjutnya, Raras minta semua nyanyi selamat ulang tahun untuk Raras”, maka menyanyilah kami dengan riang dan Raras tampak senang mendengarkan kami menyanyi.
Demikian acara demi acara mengalir. Aku mengambil beberapa foto saat acara berlangsung. Kemudian Ninis memberikan bantal cantik untuk Raras sebagai hadiah ulang tahun. Angga memberi pesawat dari kertas yang katanya buatannya sendiri. Ninis meledek tidak percaya, pesawat itu pasti buatannya mbak Yanti. Ketika Raras ingin mencium pipinya tanda terima kasih, Angga menolak dan lari keluar kamar sambil teriak-teriak. Kami semua tertawa melihat tingkahnya yang lucu.
Acara terakhir adalah menikmati kentang goreng, permen dan air putih. Sambil menikmati hidangan kami ngobrol.
"Ade dapet ide dari mana merayakan ulang tahun seperti ini?”, tanyaku ingin tahu.
“Pengennya di restaurant, tapi kan Raras cuma punya 3000 perak jadi ya bisanya seperti ini”, jawabnya polos.
“Pesta paling murah dan paling berkesan”, jawabku geli sambil memeluknya. Dalam hati aku begitu terkesan dengan kesederhanaan Raras. Padahal teman-temannya banyak yang merayakan ulang tahun dengan pizza atau kue ulang tahun yang dimakan rame-rame di sekolah.
“Padahal kalau Ade mau, ibu bisa belikan kue ulang tahun”, aku menawarkan.
“Tidak usah, bu. Terima kasih”, jawabnya. Raras, anakku yang satu ini memang berbeda. Dia begitu lembut, tenang, dan sederhana.
Ketika Raras naik ke kelas lima. Ia masuk ke kelas V B. Di sekolahnya anak-anak yang nilai rapornya bagus masuk ke kelas V A.
“Ibu tidak kecewa Raras masuk kelas V B?”, tanya Raras hati-hati.
“Tidak, kenapa de?”, kataku sambil membelai kepalanya.
“Ibu sering bilang Raras pintar, tapi nyatanya Raras nggak bisa masuk kelas V A”, katanya sedih.
“Memang anak ibu pintar, pintar menari, tuh pialanya banyak”, kataku seraya menunjuk ke kumpulan piala2nya. “Adakah temanmu di kelas V A yang pintar menari juga?”
“Setahu Raras tidak ada”, jawabnya.
“Setiap anak punya kepintaran masing-masing. Untuk Ade pintar menari”, kataku seraya memeluknya.
“Bisa”, jawabku sambil membelai rambutnya yang panjang.
“Masak Ade yang ulang tahun, temen2 yang keluar uang?”
“Itu ide temen2 sendiri, bukan Raras yang minta”
“Bagaimana kalau ibu kasih uang untuk mentraktir teman-teman? Selain es krim Ade mau traktir apa?”
“Ibu kasih aja 6000, jadi jumlahnya pas 11. 000”, jawab Raras polos.
“Ibu bisa kasih uang lebih banyak, kalau Ade mau beli pizza atau bakso dengan es campur”.
“Ade ingin hadiah apa dari ibu?”, tanyaku Depok, 12 September 2007
12 September 2007
Ibu...
Datang ya ke pesta ultah Raras
Hari ini di kamar Raras, jam 8 malam
Cium Sayang,
Raras
Aku tersenyum membaca undangan dari Raras, anakku yang kedua. Hari ini dia menyebarkan undangan untuk semua penghuni rumah untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 10. Rupanya ia ingin mengulang lagi kesuksesan pesta ulang tahunnya tahun lalu. Saat itu pun ia mengundang seluruh penghuni rumah ke kamarnya. Waktu begitu cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin aku merayakan ulang tahun Raras yang ke 9 dikamarnya.
******
Pulang kantor, kurang lebih jam 5 sore, aku segera mandi dan berdandan. Aku tidak sabar ingin segera tahu, apa yang sudah dirancang Raras untuk pesta ulang tahunnya. Tetapi ketika kucoba membuka kamarnya, terkunci. Dan Raras berteriak dari dalam kamar, “Undangannya jam 7 malam, Raras sedang rapih-rapih dulu!”.Aku dan kedua anakku yang lain dan juga Yanti, yang bekerja membantuku mengurus anak-anak, menunggu sambil menonton TV. Ninis, anakku yang pertama pun tampak sudah tidak sabar. Dia pun ingin tahu, apa yang direncanakan Raras untuk pesta ulang tahunnya. Dicobanya mengintip dari lubang kunci, tetapi rupanya Raras menaruh sesuatu di pegangan pintu sehingga pandangan dari lubang kunci terhalang.
“Ade ada-ada aja. Pesta ulang tahun kok di kamar dan cuma ngundang orang serumah”, kata Ninis geli.
Dirumah Raras biasa dipanggil Ade. Mungkin dia satu-satunya anak yang punya banyak nama panggilan. Nama lengkapnya, Luh Saraswati Pandyaningrum. Di sekolah sebagian temannya memangil Raras. Guru-guru dan beberapa orang temannya memanggil Luh. Teman-temannya di sanggar tari memanggil Saras. Beberapa orang tua dari teman-temannya di sanggar tari memanggilnya Laras. Kata Raras, walaupun sudah dikoreksi beberapa kali bahwa namanya Raras, tetap mereka memanggilnya Laras. Adik laki-lakinya, Angga, memanggilnya mbak Lalas. Sampai sekarang walaupun sudah bisa menyebut huruf R, karena kebiasaan sejak kecil tetap menyebutnya mbak Lalas. Aku sendiri juga suka ikut-ikutan memanggil Lalas, sehingga nama itu tidak hilang sampai sekarang.
Diantara ketiga anakku, bayi Raras lah yang paling tidak merepotkan, sehingga hanya sedikit yang bisa di kenang saat Raras kecil. Yang bisa kuceritakan ke Raras hanyalah saat-saat kelahirannya saja. Bayi Raras harus sesegera mungkin dilahirkan karena kondisi gawat janin. Saat masuk ke ruang operasi, kondisi mentalku sangat tertekan, karena khawatir ada apa-apa dengan bayiku. Setelah bayi dikeluarkan, kondisiku agak gawat. Malam itu di ruang pemulihan, yang aku ingat, aku seperti berjalan di lorong yang panjang dan tak berujung dan menggigil kedinginan. Ketika terbangun keesokan harinya, pasien di sebelah tempat tidurku cerita, sepanjang malam itu aku terus mengigau, sehingga dua orang suster berjaga di samping tempat tidurku. Katanya, para suster sempet panik ketika tekanan darahku tiba-tiba anjlok.
Selebihnya Raras adalah bayi yang menyenangkan. Bayi Raras hampir tidak pernah rewel dan minumnya banyak sehingga tubuhnya gemuk dan menggemaskan. Kulitnya putih bersih dan pipinya gembil, membuat gemas orang-orang yang melihatnya.
Nama Raras berasal dari bahasa jawa kuno yang artinya cantik. Rasanya pas sekali memanggilnya Raras. Selain cantik, Raras tumbuh menjadi pribadi yang sederhana. Jika aku punya uang lebih, terkadang ingin menyenangkan hatinya dengan membelikan sesuatu yang Raras inginkan. Namun Raras selalu bingung, dia pernah katakan bahwa segala keperluannya sudah terpenuhi sehingga dia tidak menginginkan apa-apa lagi. Ah, Raras...
Ketika usia 4 tahun aku memasukan Raras ke sanggar tari bali dekat rumah. Hingga kini, buat Raras, menari bukan sekedar hobby tetapi juga kebutuhan. Katanya kepala pusing kalau lama tidak menari. Karena keseriusannya menekuni tari Bali, Raras menjadi anggota di 2 sanggar tari bali. Raras tidak mau meninggalkan sanggarnya yang lama karena dia tidak mau berpisah dengan teman-temannya yang dikenalnya sejak usia 4 tahun.
Beberapa predikat juara tari pun telah berhasil di raihnya. Raras bertubuh mungil dan langsing. Tubuhnya luwes bila sedang menari. Raras memang berbakat menari. Akupun membelikannya beberapa pakaian tari bali, sehingga jika Raras akan tampil tidak repot-repot lagi menyewa pakaian tari.
Untuk menjaga staminanya, seminggu 2-3 kali Raras berlatih renang. Raras menyadari, sebagai penari dia harus memiliki fisik yang prima. Untuk tampil menari yang hanya 5-10 menit saja, Raras harus mempersiapkan diri 3-4 jam sebelumnya, untuk berdandan dan mengenakan pakaian tari.
Ketika Raras mulai bersekolah, aku tidak perlu repot-repot mengajarkannya membaca dan menulis. Saat aku mengajari kakaknya membaca, menulis atau berhitung, diam-diam Raras ikut mendengarkan, sehingga tiba-tiba saja dia sudah bisa membaca majalah.
Tiba-tiba saja pintu kamar Raras terbuka. Dengan riang Raras memanggil kami masuk karena pesta akan segera di mulai. Berebutan kami masuk ke kamar Raras, ingin melihat apa yang dia persiapkan untuk pesta ulang tahunnya.
Raras menyiapkan makanan kecil di piring-piring yang ditaruh di meja belajarnya. Makanannya hanya 2 macam, keripik kentang dan permen. Minumannya air putih yang sudah di tuang di beberapa gelas. Raras mempersilahkan kami semua duduk di atas tempat tidur, sedangkan dia berdiri di depan kami. Kemudian Raras mengeluarkan selembar kertas yang ternyata daftar acara.
“Terima kasih ya buat ibu, mbak ninis, adik Angga dan mbak Yanti yang sudah hadir di pesta Raras”, kata Raras sambil tersenyum manis. “Raras ingin semua mendoakan Raras, supaya Raras sehat dan pintar”, kami semua menundukan kepala dan berdoa untuk Raras.
“Acara selanjutnya, Raras minta semua nyanyi selamat ulang tahun untuk Raras”, maka menyanyilah kami dengan riang dan Raras tampak senang mendengarkan kami menyanyi.
Demikian acara demi acara mengalir. Aku mengambil beberapa foto saat acara berlangsung. Kemudian Ninis memberikan bantal cantik untuk Raras sebagai hadiah ulang tahun. Angga memberi pesawat dari kertas yang katanya buatannya sendiri. Ninis meledek tidak percaya, pesawat itu pasti buatannya mbak Yanti. Ketika Raras ingin mencium pipinya tanda terima kasih, Angga menolak dan lari keluar kamar sambil teriak-teriak. Kami semua tertawa melihat tingkahnya yang lucu.
Acara terakhir adalah menikmati kentang goreng, permen dan air putih. Sambil menikmati hidangan kami ngobrol.
"Ade dapet ide dari mana merayakan ulang tahun seperti ini?”, tanyaku ingin tahu.
“Pengennya di restaurant, tapi kan Raras cuma punya 3000 perak jadi ya bisanya seperti ini”, jawabnya polos.
“Pesta paling murah dan paling berkesan”, jawabku geli sambil memeluknya. Dalam hati aku begitu terkesan dengan kesederhanaan Raras. Padahal teman-temannya banyak yang merayakan ulang tahun dengan pizza atau kue ulang tahun yang dimakan rame-rame di sekolah.
“Padahal kalau Ade mau, ibu bisa belikan kue ulang tahun”, aku menawarkan.
“Tidak usah, bu. Terima kasih”, jawabnya. Raras, anakku yang satu ini memang berbeda. Dia begitu lembut, tenang, dan sederhana.
Ketika Raras naik ke kelas lima. Ia masuk ke kelas V B. Di sekolahnya anak-anak yang nilai rapornya bagus masuk ke kelas V A.
“Ibu tidak kecewa Raras masuk kelas V B?”, tanya Raras hati-hati.
“Tidak, kenapa de?”, kataku sambil membelai kepalanya.
“Ibu sering bilang Raras pintar, tapi nyatanya Raras nggak bisa masuk kelas V A”, katanya sedih.
“Memang anak ibu pintar, pintar menari, tuh pialanya banyak”, kataku seraya menunjuk ke kumpulan piala2nya. “Adakah temanmu di kelas V A yang pintar menari juga?”
“Setahu Raras tidak ada”, jawabnya.
“Setiap anak punya kepintaran masing-masing. Untuk Ade pintar menari”, kataku seraya memeluknya.
******
“Ibu, bisa datang tidak nanti malam?”, tanya Raras tiba-tiba memutus lamunanku.
“Bisa”, jawabku sambil membelai rambutnya yang panjang.
“Paginya Raras ingin merayakan bersama teman-teman, besok sekolah libur”, pamitnya.
“Acaranya apa dengan teman-teman?”
“Kami mau naik sepeda keliling-keliling kemudian beli es krim”, jawab Raras.
“Berapa uang yang ade perlukan?”, tanyaku.
“Raras punya uang kok bu. 5000”, jawabnya polos.
“Ah, mana cukup 5000, memangnya berapa harga es krim”, kataku geli.
“Es krimnya enak, satu eskrim harganya 1000. Kemarin Raras sudah bilang, kalau Raras cuma punya 5000, jadi tidak bisa ikut banyak-banyak. Tapi setelah dihitung ternyata ada 11 anak yang ingin ikut. Jalan keluarnya, beberapa teman menyumbang uang. Ada yang menyumbang 2000, ada yang 1000, setelah dikumpulkan jumlahnya 11.000. pas buat beli 11 es krim”
“Masak Ade yang ulang tahun, temen2 yang keluar uang?”
“Itu ide temen2 sendiri, bukan Raras yang minta”
“Bagaimana kalau ibu kasih uang untuk mentraktir teman-teman? Selain es krim Ade mau traktir apa?”
“Ibu kasih aja 6000, jadi jumlahnya pas 11. 000”, jawab Raras polos.
“Ibu bisa kasih uang lebih banyak, kalau Ade mau beli pizza atau bakso dengan es campur”.
“Tidak usah, bu. Rencananya kami mau keliling-keliling naik sepeda, kemudian beli es krim, duduk-duduk di kebun singkong di dekat rumah Bea”, jawab Raras dengan mata berbinar.
Raras, anakku yang satu ini memang sederhana. Terharu kupeluk Raras dan kubelai rambutnya yang panjang.
“Ade ingin hadiah apa dari ibu?”, tanyaku
“Raras ingin dibuatkan cerpen, bu”
“Hah, cerpen?”, terheran-heran aku memandang Raras.
“Cerpen yang peran utamanya Raras, bu”
“Baik, nanti ibu buatkan”, jawabku.
Hari ini kebetulan pekerjaan di kantor tidak terlalu banyak sehingga aku bisa membuatkan cerpen untuk Raras. Cerpen akan kuberikan saat pesta ulang tahunnya nanti malam. Aku pun mengirim sms ke teman-teman terdekatku yang mengenal Raras, agar mengirim ucapan selamat untuk Raras via ponselku. Perhatian seperti ini lebih berarti buat Raras dan akan membuatnya senang.
Hari ini kebetulan pekerjaan di kantor tidak terlalu banyak sehingga aku bisa membuatkan cerpen untuk Raras. Cerpen akan kuberikan saat pesta ulang tahunnya nanti malam. Aku pun mengirim sms ke teman-teman terdekatku yang mengenal Raras, agar mengirim ucapan selamat untuk Raras via ponselku. Perhatian seperti ini lebih berarti buat Raras dan akan membuatnya senang.
“Selamat ulang tahun, Raras. Ibu punya hadiah spesial untukmu. Sebuah cerpen dan ucapan selamat dari teman-teman terdekat ibu”. Waktu menunjukan pukul 15.30, segera aku pulang, tidak sabar ingin menghadiri pesta ulang tahun Raras malam ini.
BUAH KERJA KERAS
Aku dan adikku sama-sama belajar menari bali di sanggar tari bali dekat rumah. Kami berlatih setiap selasa dan minggu sore. Adik lebih rajin berlatih. Aku terkadang malas. Apalagi kalau ingat pelatih yang sering berteriak-teriak kalau gerakanku salah.
’’Dewi, badanmu tinggi, lebih jongkok lagi!’’, kalau mbak Ayu berteriak seperti itu aku merasa malu karena semua mata akan memandangku.
Sepulang dari latihan biasanya aku menggerutu pada ibu dan minta supaya aku tidak latihan menari lagi. Ibu kemudian mengelus rambutku dan berkata, mbak Ayu galak supaya anak-anak dapat menari dengan bagus.
Sementara adikku tidak pernah mengeluh. Kata adik, ikuti saja perintah mbak Ayu pasti tidak akan dimarah.
’’Kaki jadi pegal kalau jongkok terlalu rendah’’, kataku membela diri.
’’Ditahan aja, daripada diteriaki mbak Ayu’’, jawab adikku.
’’Lagipula kalau tidak jongkok, tariannya tidak bagus. Tidak ada orang menari bali dengan badan tegak’’, tambah ibu.
Walaupun demikian, tetap saja aku merasa berat untuk pergi berlatih. Hari selasa sore aku sering tidak pergi. Ibu masih di kantor pada jam aku latihan, jadi tidak bisa membujukku. Sedangkan adikku tetap pergi berlatih. Setelah ibu pulang biasanya aku dinasihati.
Sedangkan hari minggu sore ibu akan mengantar kami berlatih. Terkadang untuk merayuku, dijanjikan setelah latihan ibu mengajak ke toko buku atau makan di restauran dekat sanggar.
Suatu hari mbak Ayu mengumpulkan murid-muridnya. Kami diberitahu kalau dua minggu lagi akan ada perlombaan tari bali di mall di Jakarta Selatan. Mbak Ayu minta supaya kami lebih rajin berlatih, tidak hanya di sanggar tapi juga di rumah. Pada saat lomba aku akan menari Pendet sedangkan adikku menari Panji semirang.
Sejak pengumuman dari mbak Ayu kulihat adikku sering berlatih gerakan tari panji semirang, tanpa musik. Sedangkan aku, rasanya tidak semangat. Seperti biasa pun aku hanya berlatih seminggu sekali di sanggar.
Ketika hari lomba tiba, sejak pagi kami semua sudah siap dengan kostum masing-masing. Peserta lomba cukup banyak. Peserta kelompok TK didahulukan. Kami harus menari selama 3 menit di depan juri yang berjumlah 4 orang.
Adikku tampil lebih dahulu. Adik menari dengan lancar selama 3 menit. Ketika giliranku menari, aku merasa gemetar. Aku sering ragu melakukan suatu gerakan, karena aku kurang yakin apakah urutan gerakannya benar.
Ketika juri mengumumkan pemenangnya, adikku memperoleh juara II untuk kelompok TK. Sedangkan aku tidak mendapat juara. Adik mendapat banyak hadiah. Ada piala, uang, kue-kue dan permen dari sponsor dan voucher makan. Adik kelihatan bangga sekali. Banyak sekali orang mengambil foto para juara di panggung.
Tanpa kusadari aku menitikan air mata. Aku juga ingin mendapat piala seperti adik. Aku ingin difoto sambil memegang piala di panggung. Sampai di rumah kutumpahkan kesedihanku pada ibu. Ibu mengelus rambutku sambil berkata supaya aku lebih rajin berlatih jika ingin piala seperti adik.
Sejak itu aku berusaha mengalahkan perasaan malasku. Saat latihan pun kutahan rasa pegal di kaki. Aku berusaha jongkok seperti yang mbak Ayu ajarkan. Setiap mbak Ayu teriak, aku segera mengubah gerakan, menirukan gerakan yang diperagakan mbak Ayu.
Beberapa bulan kemudian, mbak Ayu kembali mengumumkan kalau ada lomba tari bali di mall di Tangerang. Ibu memberiku semangat, katanya itulah saatnya aku dapat piala.
Untuk menghadapi lomba aku rajin berlatih seminggu dua kali. Aku juga minta ibu membelikan CD tari bali, sehingga aku dapat latihan sendiri di rumah. Setiap ada kesempatan aku melakukan gerakan tari supaya tidak lupa urutan gerakannya. Rencananya aku akan tampil dengan tari Manukrawa, sedangkan adik dengan tari Panji semirang.
Kata mbak Ayu badanku yang tinggi langsing, cocok untuk menari tari Manukrawa. Tarian itu lincah karena menggambarkan burung-burung rawa yang sedang mencari makan dan bermain. Mbak Ayu juga menceritakan makna setiap gerakan, agar aku bisa menghayati saat menari.
’’Dewi bayangkan diri kamu seekor burung yang sedang bermain dan mencari makan bersama teman-teman’’, kata mbak Ayu pada latihan terakhir.
Aku berlatih sungguh-sungguh, melakukan gerakan yang diajarkan mbak Ayu. Aku tidak lagi merasakan pegal di kaki selama menari. Rupanya latihan teratur membuat kakiku kuat dan terbiasa melakukan gerakan yang benar.
’’Pada saat mengibas-ngibaskan sayap, jangan lupa tersenyum’’, kata mbak Ayu. ”Karena gerakan itu menggambarkan burung rawa yang sedang bermain riang”.
Pada hari perlombaan, aku menari dengan ringan. Sesekali aku tersenyum ketika melakukan gerakan burung yang sedang bermain gembira. Aku membayangkan diriku seekor burung kecil yang sedang bermain dengan riang dan mencari makan setelah lelah bermain. Aku sama sekali tidak ragu dengan gerakanku. Aku menari mengikuti gamelan bali yang mengiringiku. Tanpa terasa aku telah menyelesaikan tarian. Kudengar gemuruh tepuk tangan para penonton.
Saat pengumuman juara, akupun tertawa senang ketika juri mengumumkan kalau aku juara I dikelompokku. Sedangkan adikku mendapat juara harapan II untuk kelompoknya. Dengan bangga aku menerima piala dan hadiah-hadiah, sementara banyak lampu blitz ke arahku. Sejak itu aku rajin berlatih tari Bali. Usaha kerasku melawan rasa malas telah membuahkan hasil.
’’Dewi, badanmu tinggi, lebih jongkok lagi!’’, kalau mbak Ayu berteriak seperti itu aku merasa malu karena semua mata akan memandangku.
Sepulang dari latihan biasanya aku menggerutu pada ibu dan minta supaya aku tidak latihan menari lagi. Ibu kemudian mengelus rambutku dan berkata, mbak Ayu galak supaya anak-anak dapat menari dengan bagus.
Sementara adikku tidak pernah mengeluh. Kata adik, ikuti saja perintah mbak Ayu pasti tidak akan dimarah.
’’Kaki jadi pegal kalau jongkok terlalu rendah’’, kataku membela diri.
’’Ditahan aja, daripada diteriaki mbak Ayu’’, jawab adikku.
’’Lagipula kalau tidak jongkok, tariannya tidak bagus. Tidak ada orang menari bali dengan badan tegak’’, tambah ibu.
Walaupun demikian, tetap saja aku merasa berat untuk pergi berlatih. Hari selasa sore aku sering tidak pergi. Ibu masih di kantor pada jam aku latihan, jadi tidak bisa membujukku. Sedangkan adikku tetap pergi berlatih. Setelah ibu pulang biasanya aku dinasihati.
Sedangkan hari minggu sore ibu akan mengantar kami berlatih. Terkadang untuk merayuku, dijanjikan setelah latihan ibu mengajak ke toko buku atau makan di restauran dekat sanggar.
Suatu hari mbak Ayu mengumpulkan murid-muridnya. Kami diberitahu kalau dua minggu lagi akan ada perlombaan tari bali di mall di Jakarta Selatan. Mbak Ayu minta supaya kami lebih rajin berlatih, tidak hanya di sanggar tapi juga di rumah. Pada saat lomba aku akan menari Pendet sedangkan adikku menari Panji semirang.
Sejak pengumuman dari mbak Ayu kulihat adikku sering berlatih gerakan tari panji semirang, tanpa musik. Sedangkan aku, rasanya tidak semangat. Seperti biasa pun aku hanya berlatih seminggu sekali di sanggar.
Ketika hari lomba tiba, sejak pagi kami semua sudah siap dengan kostum masing-masing. Peserta lomba cukup banyak. Peserta kelompok TK didahulukan. Kami harus menari selama 3 menit di depan juri yang berjumlah 4 orang.
Adikku tampil lebih dahulu. Adik menari dengan lancar selama 3 menit. Ketika giliranku menari, aku merasa gemetar. Aku sering ragu melakukan suatu gerakan, karena aku kurang yakin apakah urutan gerakannya benar.
Ketika juri mengumumkan pemenangnya, adikku memperoleh juara II untuk kelompok TK. Sedangkan aku tidak mendapat juara. Adik mendapat banyak hadiah. Ada piala, uang, kue-kue dan permen dari sponsor dan voucher makan. Adik kelihatan bangga sekali. Banyak sekali orang mengambil foto para juara di panggung.
Tanpa kusadari aku menitikan air mata. Aku juga ingin mendapat piala seperti adik. Aku ingin difoto sambil memegang piala di panggung. Sampai di rumah kutumpahkan kesedihanku pada ibu. Ibu mengelus rambutku sambil berkata supaya aku lebih rajin berlatih jika ingin piala seperti adik.
Sejak itu aku berusaha mengalahkan perasaan malasku. Saat latihan pun kutahan rasa pegal di kaki. Aku berusaha jongkok seperti yang mbak Ayu ajarkan. Setiap mbak Ayu teriak, aku segera mengubah gerakan, menirukan gerakan yang diperagakan mbak Ayu.
Beberapa bulan kemudian, mbak Ayu kembali mengumumkan kalau ada lomba tari bali di mall di Tangerang. Ibu memberiku semangat, katanya itulah saatnya aku dapat piala.
Untuk menghadapi lomba aku rajin berlatih seminggu dua kali. Aku juga minta ibu membelikan CD tari bali, sehingga aku dapat latihan sendiri di rumah. Setiap ada kesempatan aku melakukan gerakan tari supaya tidak lupa urutan gerakannya. Rencananya aku akan tampil dengan tari Manukrawa, sedangkan adik dengan tari Panji semirang.
Kata mbak Ayu badanku yang tinggi langsing, cocok untuk menari tari Manukrawa. Tarian itu lincah karena menggambarkan burung-burung rawa yang sedang mencari makan dan bermain. Mbak Ayu juga menceritakan makna setiap gerakan, agar aku bisa menghayati saat menari.
’’Dewi bayangkan diri kamu seekor burung yang sedang bermain dan mencari makan bersama teman-teman’’, kata mbak Ayu pada latihan terakhir.
Aku berlatih sungguh-sungguh, melakukan gerakan yang diajarkan mbak Ayu. Aku tidak lagi merasakan pegal di kaki selama menari. Rupanya latihan teratur membuat kakiku kuat dan terbiasa melakukan gerakan yang benar.
’’Pada saat mengibas-ngibaskan sayap, jangan lupa tersenyum’’, kata mbak Ayu. ”Karena gerakan itu menggambarkan burung rawa yang sedang bermain riang”.
Pada hari perlombaan, aku menari dengan ringan. Sesekali aku tersenyum ketika melakukan gerakan burung yang sedang bermain gembira. Aku membayangkan diriku seekor burung kecil yang sedang bermain dengan riang dan mencari makan setelah lelah bermain. Aku sama sekali tidak ragu dengan gerakanku. Aku menari mengikuti gamelan bali yang mengiringiku. Tanpa terasa aku telah menyelesaikan tarian. Kudengar gemuruh tepuk tangan para penonton.
Saat pengumuman juara, akupun tertawa senang ketika juri mengumumkan kalau aku juara I dikelompokku. Sedangkan adikku mendapat juara harapan II untuk kelompoknya. Dengan bangga aku menerima piala dan hadiah-hadiah, sementara banyak lampu blitz ke arahku. Sejak itu aku rajin berlatih tari Bali. Usaha kerasku melawan rasa malas telah membuahkan hasil.
Langganan:
Komentar (Atom)